PERJUANGAN PI’IK LAURA, GADIS KECIL BERCITA-CITA BESAR DARI MERATUS
Ini
kisah Pi’ik. Remaja dari Pegunungan Meratus ini setiap hari menembus hutan,
mendaki gunung, dan menyisiri tubir bukit, menempuh perjalanan panjang, hanya
untuk menuju sekolah. Satu lagi, inspirasi dari seorang anak negeri.
Malam
masih menyisakan gelap saat Pi’ik Laura (14 tahun), terbangun. Setelah
mengerjakan rutinitas hariannya, mencuci dan memasak untuk kedua orangtuanya,
dia mulai bersiap-siap. Perjalanan jauh menanti di depannya :
menuju sekolah. Jarak yang ditempuh gadis Dayak ini setiap hari tak
kurang dari 8 jam berjalan kaki pergi pulang, menanjak dan menurun.
Biasanya,
pada terang tanah pertama, Pi’ik segera mulai berjalan. Tas sekolah dikepit di
bahu kiri. Tak ketinggalan jaket yang selalu dikancingkan untuk menolak hawa
dingin hutan dini hari. Ketika itu, tubuh kecilnya hanya terlihat berupa
bayangan dalam keremangan hutan.
"Dalam
bahasa Dayak, Pi'ik itu artinya kecil,” ucap gadis periang ini mengisahkan
kehidupannya.
Pi’ik
mengaku itu adalah nama pemberian ayahnya karena sewaktu lahir ukuran tubuhnya
lebih kecil dibandingkan anak biasanya. Ayahnya, Tanar (50 tahun) adalah
seorang petani dan pekebun, tipikal khas orang-orang Dayak yang hidup harmonis
bersama alam. Tanar memilih tetap tinggal di hutan, meski beberapa
penduduk lainnya kini banyak yang sudah tinggal di desa-desa dan kota kecamatan.
Pilihan
ayahnya ini berkonsekuensi bagi cita-cita Pi’ik. Dia yang tinggal jauh di
hutan akhirnya tidak memiliki akses ke pendidikan. Sekolah begitu jauh. SMPN 3
Halong, sekolahnya saat ini misalnya, berjarak empat jam jalan kaki. Sungguh,
jarak yang sangat jauh. Jika dibandingkan dengan anak-anak di
perkotaan atau kecamatan, perjalanannya menuju sekolah bisa dikatakan seperti
sebuah perjuangan.
Tapi
Pi’ik tidak menyerah. Tak seperti namanya, gadis berkulit putih ini menyimpan
tekad yang besar. Dia ingin menjadi anak pertama di Dusun Kurihai yang bisa
mengalahkan jarak demi pendidikan.
Apakah
Pi’ik siap? Mulanya orangtuanya tidak begitu yakin. Ayahnya bahkan melarang
Pi’ik sekolah lantaran mempertimbangkan nyaris mustahil mencapai sekolah dari
tempat tinggal mereka.
“Ayah
tidak tega membiarkan saya sendirian turun naik gunung,” ucap Pi’ik mengenang
awal-awal dia mengutarakan niatnya untuk bersekolah.
Selain
itu, ada faktor lain. Perekonomian keluarganya begitu memprihatinkan. Menjadi
seorang petani yang sangat bergantung pada cuaca, membuat kadang-kadang
keluarganya tidak bisa makan dengan layak. Ada hari-hari saat keluarga
terpencil itu hanya memakan buah-buahan hutan dan meminum air yang tak pernah
berhenti mengalir dari lereng Meratus, karena hasil panen tak mencukupi
kebutuhan keluarga.
Faktor
ekonomi ini pula yang membuat Tanar tidak menyekolahkan anak-anaknya. Empat
saudara perempuan Pi’ik semuanya tidak menempuh pendidikan formal. Sedangkan
dua kakak lelaki Pi’ik hanya berhasil mengenyam pendidikan hingga kelas tiga
Sekolah Dasar. Selebihnya, mereka menyerah dan mulai bekerja mencari
penghidupan sendiri.
Beruntung,
kakaknya mewariskan buku-buku sekolah mereka di rumah. Dari “warisan”
inilah, rasa keingintahuan Pi’ik akan dunia luar dan kecintaannya akan
pendidikan timbul.
"Saya
memahami cara menulis dan membaca dari melihat kakak belajar. Sejak itu minat
saya untuk sekolah semakin tinggi," ujarnya.
Diam-diam,
Pi’ik merencanakan sesuatu. Dia mulai mengidam-idamkan duduk di bangku sekolah.
Dia mempelajari semua buku kakaknya, membaca dan menulis dari buku-buku itu.
Saat keinginannya untuk sekolah sudah memuncak, dengan modal nekad dia
mendaftar sendiri di SD Kecil Ampinang Desa Mamigang, tanpa sepengetahuan orang
tuanya.
Sepulang dari mendaftar SD Kecil, barulah ia mengabari orangtuanya. Seketika ibunya menangis.
Sepulang dari mendaftar SD Kecil, barulah ia mengabari orangtuanya. Seketika ibunya menangis.
“Tidak
tahu harus memberi uang saku buat sekolah pakai apa,” ucap Tarik, ibu Pi’ik
saat itu.
"Saya
bilang ke ibu tidak usah mikirin itu, bisa sekolah saja saya sudah
senang," ucapnya riang.
Karena
iba, dengan berat hati, orangtua Pi’ik akhirnya bisa melepasnya untuk mengejar
impian.
"Kadang
kami khawatir terjadi apa-apa dengannya di jalan, tapi lambat laun kami sudah
terbiasa," ujar Tanar.
SD
Kecil Ampinang berlokasi tidak jauh dari SMPN 3 Halong tempat Pi'ik bersekolah
sekarang, jaraknya hanya sekitar 500 meter lebih dekat dari SMPN 3 Halong.
Setiap hari, Pi’ik menempuh rute yang sama. Itu termasuk 2,5 jam perjalanan
turun gunung hingga tiba di desa Ruwuk. Di sini ia mampir di rumah seorang
sepupunya. Tempat ia biasa menitipkan sepatu dan berganti pakaian seragam
sekolah.
"Ini
sepatu pemberian teman baik, saya tidak mau rusak," tutur gadis yang
mengaku seragam sekolahnya adalah pemberian dari guru agama di sekolahnya.
Dari
desa Ruwuk, perjalanan ke sekolahnya masih sekitar 1,5 jam lagi. Melewati
beberapa desa, yakni Ampinang, Mamigang baru sampai ke Desa Uren, tempat
sekolahnya berada. Desa Uren sendiri terletak 2 jam perjalanan dengan kendaraan
roda dua dari ibukota kabupaten, Paringin.
Namun, melewati jalur sisa ini terkadang Pi’ik beruntung, ada pengendara motor yang lewat dan memberi tumpangan. Jika naik sepeda motor, waktu tempuh bisa dipangkas menjadi sekitar 15 menit. Artinya ia tidak terlambat sampai ke sekolah dan bisa mengikuti baris-berbaris seperti teman-temannya. Tetapi, seringnya Pi’ik terlambat sekitar 30 menit setelah menempuh perjalanan panjang dari rumahnya.
Namun, melewati jalur sisa ini terkadang Pi’ik beruntung, ada pengendara motor yang lewat dan memberi tumpangan. Jika naik sepeda motor, waktu tempuh bisa dipangkas menjadi sekitar 15 menit. Artinya ia tidak terlambat sampai ke sekolah dan bisa mengikuti baris-berbaris seperti teman-temannya. Tetapi, seringnya Pi’ik terlambat sekitar 30 menit setelah menempuh perjalanan panjang dari rumahnya.
“Biasanya
para guru sudah memaklumi,” ucapnya ringan.
Bahkan,
ketika masih SD, melihat kesungguhan anak-anak Meratus seperti Pi’ik, dewan
guru SD Kecil melonggarkan peraturan. Mereka tidak mewajibkan murid-muridnya
supaya berseragam sekolah. Diakui Pi'ik ini merupakan kebahagiaan tersendiri, karena
ia tak perlu memikirkan bagaimana membeli seragam. Ia baru memiliki seragam
pada saat duduk di kelas dua SD.
Rutinitas
bersekolah yang tidak biasa ini sudah berlalu enam tahun. Dan dari tahun ke
tahun, bersekolah masih tidak mudah bagi Pi’ik. Dia hanya menjadi lebih
terbiasa. Hawa dingin, hamparan tanah becek, sesemakan tajam, kontur curam
bukit, adalah kendala yang harus ditaklukan. Dan jangan lupa: babi
hutan!
“Saya
pernah dikejar babi hutan,” kenangnya lagi.
Saat
itu jalan licin karena hari hujan. Pi’ik terus berlari meski kakinya terluka
dan berdarah. Ia kesakitan, tapi tak punya pilihan.
“Ya
harus bangkit lagi, karena sekeras apapun menangis, tak ada juga yang
mengasihani dan bisa menolong. Akhirnya ke sekolah dengan kondisi basah dan
seragam kotor,” ujarnya.
Pi’ik
merasa sedikit banyak, dia dilindungi. “Satu hal yang tidak pernah saya lupa
setiap sebelum berangkat sekolah, berdoa kepada
Tuhan," ucap gadis yang bercita-cita menjadi guru ini. (wahyudi)
No comments:
Post a Comment