HGU Lahan Pirsus II Paringin Take Over ke PT. Adaro
Lahan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II
Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN)
Persero resmi di Take over ke PT Adaro Indonesia per 22 Mei 2014 lalu.
Pelepasan kepemilikan tersebut menimbulkan berbagai polemik di
masyarakat sekitar. Terang saja, lahan HGU yang harusnya digunakan untuk
perkebunan karet telah berpindahtangan ke perusahaan yang bergerak di
bidang pertambangan batubara.
Masa lahan HGU untuk perkebunan karet bisa dialihtangankan ke tambang
mineral? Kenapa bisa jadi sampai begitu? Ujar salah seorang warga
sekitar dengan ekspresi kaget dan kecewa setelah mendengar kabar take
over tersebut.
Tidak hanya itu, take over itu juga berdampak langsung pada nasib para
buruh lepas yang menggantungkan nasib mereka dari penghasilan menyadap
karet di eks Pirsus II Paringin itu. Pasalnya, pasca kepemilikan lahan
secara resmi berpindah kepada PT Adaro Indonesia, segala aktivitas yang
dilakukan di lahan tersebut langsung dihentikan termasuk penyadapan
karet.
Sesuai informasi yang didapat dilapangan, ada 194 karyawan lepas yang
mencari nafkah di eks perkebunan karet milik PTPN XIII yang berlokasi di
dua desa tersebut, yaitu Desa Lok Batung dan Babayau Kecamatan
Paringin.
Salah seorang pekerja lepas mengatakan, selain sangat menyayangkan
pemindahtanganan lahan tersebut, dia juga sangat kecewa dengan
pemberitahuan mendadak terkait penghentian aktivitas penyadapan karet di
lahan itu. Padahal, penghasilan untuk menghidupi anak istri setiap
harinya bergantung pada hasil menyadap karet di sana.
“Kita hanya menyayangkan kenapa pemberitahuan penghentian aktivitas ini
sangat mendadak dan tidak ada sosialisasi sebelumnya, kalau begini kan
mau dikasih makan apa anak dan istri. Belum lagi ke depannya, kalau
perkebunan karet PTPN ini tidak ada lagi, mau kerja apa kami nanti,”
keluhnya.
Dilain pihak, tokoh masyarakat Balangan Syahrani Aheng juga mengaku
terkejut dengan adanya take over izin HGU dari PTPN XIII ke PT Adaro
Indonesia itu.
Diakuinya, lahan HGU Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Paringin
yang merupakan bagian dari PTPN XIII bukan hanya sekedar perkebunan
namun lebih dari itu, keberadaan HGU Pirsus II Paringin memiliki peranan
yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Balangan.
“Seharusnya ada tinjauan lebih konfrehensip dan melibatkan masyarakat
secara intensif mengenai pengalihan fungsi lahan ini,” sesal tokoh
sentral pengagas berdirinya perkebunan Pirsus II di Balangan tersebut.
Syahrani Aheng juga menyayangkan sikap Pemerintah Daerah yang tidak
memberikan respon lebih dalam menjaga kelangsungan keberadaan perkebunan
Pirsus II Paringin, supaya tidak dialihfungsikan menjadi areal
pertambangan.
“Perkebunan Pirsus II Paringin merupakan pundemental dalam perjalanan
sejarah Balangan dalam segala aspek kehidupan, seharusnya perkebunan itu
tidak dialih fungsi sektor pertambangan, yang tentunya asfek yang
ditimbulkan jauh berbeda antara perkebunan dengan pertambangan baik
secara ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan bagi masyarakat
Balangan,” ketusnya.
Sedangkan saat dikonfirmasi, Manajer Kebun PTPN XIII (Persero) Kebun
Tambarangan yang membawahi wilayah Pirsus II Paringin, Ir H Priyo
Harjono kepada wartawan menguraikan, sejatinya pelepasan aset afdeling
Paringin tersebut sudah melalui proses yang panjang, termasuk melalui
kajian dan tahapan-tahapan mendalam. Walaupun pemberitahuan kepada
pekerja terkesan mendadak kata dia, itu hanya untuk menghindari campur
tangan dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.
Ditegaskannya, pemindahtanganan lahan HGU sama sekali tidak melanggar
aturan, karena itu sudah sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah Pasal 16 yang menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan
kepada pihak lain, (2) Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli,
Tukar Menukar, Penyertaan Modal, Hibah dan Pewarisan.
Dijelaskan Priyo, ada beberapa dasar pihaknya melakukan pelepasan atas
aset afdeling Paringin tersebut, di antaranya pengembangan perluasan
kebun sulit dilakukan mengingat areal di sekitarnya telah
dikuasai oleh perusahaan Pertambangan.
Walaupun pengelolaan terhadap lahan HGU tersebut masih bisa dilakukan
lanjutnya, terutama yang tidak overlap selama tiga tahun (pendapatan
bruto). Namun, pilihan ini diperkirakan akan menghadapi tantangan
dan rongrongan dari pihak yang berkepentingan di sekitar
kebun, sehingga waktu serta biaya sosial yang harus dikeluarkan
oleh PTPN XIII relatif besar.
Kemudian berdasarkan Appraisal dan Kajian PT Riset Perkebunan Nusantara
(RPN), pengembangan perkebunan karet di Afdeling Paringin sulit
dilakukan mengingat areal yang terbatas. Alternatif untuk pengembangan
kelapa sawit pun secara finansial tidak layak untuk dilaksanakan.
“Sebagian besar areal HGU di Afdeling Paringin sudah ditanami karet oleh
masyarakat sekitar, sehingga upaya untuk rehabilitasi dan pengembangan
kebun akan menghadapi kendala dan permasalahan ganti rugi atas tanaman
tersebut,” tuturnya.
Namun kata dia, permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya ialah,
adanya tumpang tindih dengan ijin pertambangan PT Adaro Indonesia yang
aktif melakukan kegiatan pertambangan.
Hal itu dipertegas opini BPKP yang menyatakan bahwa kandungan batubara
di bawah tanah HGU seluas 2.071 Ha tersebut terdapat dua Izin Usaha
Pertambangan, yaitu PKP2B PT Adaro Indonesia dan IUP yang diberikan
Bupati Balangan kepada PT Putera Bara Mitra.
Sedangkan nasib para pekerja lepas, diakui Priyo, pihaknya akan
memberikan kesempatan kepada pekerja lepas untuk bekerja dengan status
yang sama di kebun Tambarangan Kabupaten Tapin.
“Pekerja lepas kita berikan kesempatan untuk bekerja di sana, jadi
tergantung yang bersangkutan mau atau tidaknya, yang jelas kita sudah
memberikan solusi,” ujarnya yang mengatakan bahwa pihaknya juga akan
memberikan pesangon kepada pekerja lepas, sesuai dengan masa kerjanya
yang dihitung sejak dihentikannya aktivitas menyadap sampai akhir bulan
Mei ini.
Dewan : Pemerintah Jangan Tutup
Pemindahan kepemilikan lahan (Take Over) Hak Guna Usaha (HGU)
Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin seluas 2071
hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia
per 22 Mei 2014 lalu, selain menimbulkan pertanyaan di masyarakat juga
menjadi perhatian khusus Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Kabupaten
Balangan.
Saat ditemui Ketua DPRD Balangan H Zainuddin yang didampingi wakil ketua
DPRD H. M Yusuf A mengungkapkan, selain tidak adanya koordinasi dengan
Dewan mengenai Take Over HGU Pirsus II Afdeling Paringin seluas 2071
hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia
juga dikwatirkan akan menimbulkan dampak sosial yang luas.
H. A Yusuf menambahkan, selama ini kalangan DPRD Kabupaten Balangan
tidak pernah tahu maupun diberi tahu baik terkait akusisi lahan HGU
seluas 2.071 hektare tersebut, baik dari pihak PTPN XIII sebagai
pemegang izin sah maupun dari PT Adaro Indonesia sebagai pengelola lahan
selanjutnya, bahkan dari Pemerintah kabupaten (Pemkab) Balangan sendiri
selama ini, juga tidak ada sedikit pun pemberitahuan mengenai rencana
ataupun pelaksanaan akusisi lahan HGU milik PTPN XIII tersebut.
“Kok tiba-tiba PTPN XII meng take over lahan HGU nya, lalu DPRD Balangan
dianggap apa, pemerintah daerah juga harus segera bertindak secepat
mungkin menyelesaiakn permasalahan ini, jangan sampai pemerintah tutup
mata,” ujar politisi Golkar tersebut.
M Yusuf A mengakui, pihaknya akan membentuk tim untuk menyelesaikan
permasalahan pengalihan lahan HGU seluas 2.071 hektare tersebut dari
pihak PTPN XIII sebagai pemegang izin sah ke PT Adaro Indonesia.
“Permasalahan ini bisa kita limpahkan ke komisi II atau komisi lain yang
terkait, dan tidak menutup kemungkinan kita akan bentuk Panitia Khusus
(Pansus) terkait permasalahan ini,” tegasnya.
Sedana dengan pernyataan itu, ketua komisi II Sumarso mengakui, pihaknya
akan berkoordinasi dengan pihak terkait baik Pemkab Balangan maupun
Dirjen kementerian terkait, guna penyelesaian permasalahan terkait
tindakan PT Adaro Indonesia yang mengakuisisi secara resmi lahan HGU
PTPN XIII (Persero) kebun Tambarangan Afdeling Paringin.
“Selain proses akusisi, kita juga akan pertanyakan tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terkait kesepakatan take over
tersebut,” tegas Sumarso.
Lebih jauh Sumarso mengatakan, pihaknya pasti akan melakukan tindakan
lanjutan terkait permasalahan ini, namun waktunya belum kita tentukan,
yang pasti secepatnya akan dilaksanakan.
Selain itu, Sumarso juga meminta semua pihak baik masyarakat, PTPN, dan
PT Adaro untuk menahan diri, jangan ada saling provokasi. “Sebelum ada
kejelasan mengenai masalah ini, kita ingin masyarakat tetap
diperbolehkan bekerja di lahan HGU kebun Pirsus II Paringin tersebut,”
pintanya.
Keluhan serupa juga ditunjukan Ketua LSM Hijau Rindang Lestari, H Hudari
mengaku, bingung atas tindakan PTPN XIII sebagai BUMN melapas secara
resmi lahan HGU nya kepada PT Adaro Indonesia.
“Izin HGU PTPN XIII merupakan izin perkebunan, yang seharusnya tidak
boleh serta merta dialih fungsikan ke sektor pertambangan, harus ada
kajian konfrehensif secara mendalam terkait alih fungsi tersebut baik
secara lingkungan maupun sosial budaya disekitar lahan tersebut,”
tegasnya.
Lebih jauh H Hudari membeberkan, seharusnya jika PT Adaro Indonesia akan
menggunakan lahan HGU PTPN XIII tersebut maka harus ada kajian
lingkungan terlebih dahulu yakni berupa, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), dimana AMDAL merupakan kajian dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, yang dibuat pada tahap perencanaan,
dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
“Sesuai izin AMDAL yang diberikan kepada PT Adaro Indonesia di Tahun
2012 lalu, terkait peningkatan produksi dari 45 juta ton/tahun menjadi
80 juta ton/tahun tidak ada perluasan lobang tambang yang ada hanya
pendalam lobang tambang, artinya tindakan PT Adaro Indonesia yang
mengakuisisi secara resmi lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan
Nusantara (PTPN) XIII (Persero) bisa ditiadakan kerna tidak akan
mengganggu jalannya peningkatan produksi yang dilakukan PT Adaro
Indonesia,” bebernya.
Ditambahkan Hudari, seharusnya PTPN XIII (Persero) sebelum melepas lahan
HGU nya harus menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan dengan
masyarakat terkait status lahan mereka.
“Padahal sampai saat ini masih ada permasalahan lahan masyarakat dengan
PTPN XIII, seharusnya PTPN menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada
sebelum melakakukan take over ke PT Adaro Indonesia,” bebernya.
Dilain pihak, menurut Goverment and Media Relations (GMR) Departement
Manager PT Adaro Indonesia, Hikmatul Amin saat dikonfirmasi wartawan
mengatakan, mengenai lahan PTPN Yang kini di ambil alih PT. Adaro
Indonesia dengan lahan HGU seluas 2071 Hektar (Ha) bukan untuk di
tambang, melainkan sebagai Areal pendukung pertambangan.
“Areal tersebut kita manfaatkan untuk areal pendukung seperti areal
reklamasi atau penghijauan dan pengolahan limbah serta disposal
(pembuangan tanah) dan lainnya, yang jelas bukan untuk ditambang.”
katanya.
Diakuinya, untuk keterlibatan pemerintah daerah (Pemda) dalam proses
take over dirinya kurang paham, tapi ditegaskannya, yang jelas PTPN
PIRSUS II Paringin temasuk dalam BUMN dan kewenangan BUMN untuk melepas.
Amin menambahkan, kesepakatannya di Jakarta antara BUMN dan PT. Adaro
Indonesia, melalui beberapa proses tahapan sesuai prosedur, karena
perusahaan negara jadi di bawah BUMN.
“Sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 16 yang
menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain, (2)
Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli, Tukar Menukar, Penyertaan
Modal, Hibah dan Pewarisan,” bebernya.
Pengambilalihan HGU PTPN XIII Oleh Adaro; Potret Ekonomi Rente Pertambangan.
Thursday, 05 June 2014 17:52
Siaran pers JATAM, 5 Juni 2014
Peralihan Hak Guna Usaha Perkebunan Inti Rakyat Khusus (HGU Pirsus)
II afdeling Paringin, Kabupaten Balangan Kalsel, dari PTPN XIII ke PT
Adaro Indonesia pada 22 Mei 2014 lalu, adalah salah satu potret nyata
bagaimana praktek ekonomi rente telah menjadi bagian dari industri
pertambangan. Seperti halnya di wilayah lain, tumpang tindih lahan HGU
maupun Konsesi Pertambangan menjadi pemicu para pengusaha maupun pemberi
ijin untuk melanggengkan model pembangunan yang berbasis rente. Tanpa
peduli kawasan tersebut telah dimiliki ataupun diperuntukkan untuk
sektor lain, cara apapun dilakukan untuk mendapatkan izin.
Peralihan HGU Pirsus tersebut menjadi wilayah pertambangan tentu
bukan tanpa masalah. Tidak hanya bentang alam saja yang akan dirombak,
masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan karet
juga mengalami nasib yang tidak menentu. Tidak hanya 236 karyawan dari
Pirsus PTPN XIII saja yang kehilangan mata pencahariannya, masyarakat
sekitar yang bergantung pada keberlangsungan kegiatan perkebunan
tersebut juga terancam. Ancaman konflik dan gejolak sosial di masyarakat
semakin terbuka lebar.
Walaupun PT Adaro Indonesia mengklaim lahan yang diambil alih
tersebut untuk reklamasi, pembuangan limbah dan bahan disposal, namun
tetap saja kegiatan tersebut adalah satu kesatuan dalam industri
pertambangan. Argumentasi peralihan HGU Perkebunan menjadi Areal
Pendukung Pertambangan (APP) tentu saja tidak memiliki landasan hukum
yang jelas.
Semestinya lahan HGU hanya diperuntukkan bagi kegiatan perkebunan,
pertanian dan/atau peternakan, sesuai dengan PP 40 tahun 1996 tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 16 tentang Peralihan HGU hanya
sebatas mengatur mekanisme peralihan HGU tanpa mengubah peruntukan lahan
tersebut. Artinya, peralihan HGU ke pihak lain tidak serta merta
merubah peruntukan lahan HGU tersebut. Peruntukan lahan HGU yang
dialihkan harus sesuai dengan perijinan awalnya.
Tumpang tindih lahan dan konsesi di berbagai wilayah yang selama ini
“dipelihara dengan baik” oleh kepala daerah selaku pemberi ijin, membuka
peluang besar terjadinya suap atau gratifikasi. Hingga saat ini pun
masih belum jelas landasan hukum dan mekanisme perizinan apa yang
digunakan PT Adaro Indonesia untuk mengambil alih dan merubah peruntukan
HGU tersebut.
Perampasan ruang hidup masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
kebun karet menjadi salah satu PR besar yang harus diselesaikan oleh
Pemda. Pembiaran tumpang tindih yang berlarut-larut diindikasikan akan
meningkatkan bargaining dari kepala daerah selaku pemberi ijin serta
celah terjadinya suap dan gratifikasi.
Tidak seharusnya sektor pertambangan menjadi basis pembangunan
ekonomi suatu daerah. Sektor pertambangan yang bersifat “Keruk Habis,
Jual Cepat” berkontribusi besar pada semakin menurunnya kualitas hidup
masyarakat di suatu daerah. Ditambah lagi dengan “ekonomi rente” yang
melekat pada industri pertambangan, mengundang dan mempengaruhi
kekuasaan untuk mengeruk keuntungan dengan sama sekali tidak
berkontribusi pada peningkatan perekonomian dan kualitas hidup
masyarakat.
Warga Mengadu Ke Dewan
Puluhan warga Desa Lamida Bawah Kecamatan Paringin mendatangi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Balangan untuk menemui wakil
meraka, guna menyampaikan aspirasi terkait kejelasan nasib tanah milik
mereka, pasca pengalihan pengusaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN
XIII Avdeling Pirsus Paringin seluas 2071 Ha ke tangan PT. Adaro
Indonesia.
Kedatangan masyarkat disambut dengan melaksanakan rapat dengar
pendapat/hearing dialog dengan komisi II DPRD Kab. Balangan selain
diterima ketua komisi II DPRD Kab. Balangan Sumarso beserta dua
anggotannya rapat tersebut juga diikuti Akhmad Fauzi Asisten II Setda
Kab. Balangan, Haryono Kepala dinas kehutanan dan perkebunan, dan
Nugraha kepala BPN, beserta Mukhlis Ridhani Kasi SPP BPN dan Syamsurizal
Staf BPN, rapat dilaksanakan di ruang rapat DPRD Kab. Balangan, Kamis
(12/6/2014)
Perwakilan masyarakat H Jumhari mengatakan, meminta agar DPRD bisa
memperjuangkan aspirasi masyarakat guna mendapatkan haknya atas tanah
yang dimiliki secara turun temurun, namun hingga kini tanah tersebut
diklaim masuk dalam kawasan HGU PTPN XIII yakni Pirsus II Paringin.
“Apalagi setelah take over yang dilakukan PTPN ke PT Adaro permasalahan
yang timbul semakin rumit, dimana tanah yang kami miliki sebagian sudah
digarap oleh PT Adaro. Padahal tanah tersebut milik masyarakat kami
bukan milik PTPN, untuk itu kami meminta penyelesaian permasalahan
tersebut,” pintanya.
Menanggapi permasahan tersebut, Ketua Komisi II DPRD Balangan Sumarso
mengatakan, Dewan akan mengkomodir keinginan masyarakat guna
penyelesaian permasalahan tersebut sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki pihaknya sebagia wakil rakyat berdasarkan peraturan yang
berlaku.
“Kita secepatnya akan memanggil pihak PTPN XIII guna pempertemukan
dengan masyarakat untuk penyelesaian permasalahan yang dialimi
masyarakat tersebut,” tegasnya.
Masih menurut Sumarso, pihaknya selain memanggil pihak PTPN XIII juga
berencana akan memanggil pihak lainnya yang terkait masalah ini.
Senada dengan Sumarso, anggota Komisi II yang hadir Nor Iswan
mengatakan, menurut penilaian kami permasalahan yang ada terkonsentrasi
menjadi dua yakni, permasalahan awal terbitnya izin HGU PTPN tahun 1986
dimana adanya hak masyarakat yang tidak dipenuhi dalam perjalanan
penerbitan HGU tersebut, dan yang kedua adalah permasalah yang
ditimbulkan kerna terjadinya Take Over lahan HGU menjadi kawasan
pertambangan dimana selain proses take over sendiri secara dateil belum
ada kejelasan yang diterima DPRD, permasalahan sosial akibat take over
tersebutpun belum ada perencanaan penyelesaiannya.
“Kerna apabila lahan HGU tersebut berubah fungsi menjadi pertambangan,
maka otomatis kehidupan sosial disekitar lahan HGU akan berubah, padahal
disana ada mesjid, sekolah, dan sarana umum lainnya, permasalahan
tersebut harus diselesaikan dulu sebelum adanya perubahan kawasan,”
bebernya.
Untuk itu, diakui Nor Iswan pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab
Balangan guna pembahasan permasalahan terkait take over PTPN ke PT Adaro
Indonesia tersebut, salah satunya dengan cara meminta klarifikasi baik
kepada PTPN maupun ke PT Adaro Indonesia.