Thursday 16 February 2017

Museum Wasaka



M
SATU di antara Museum di Kalsel adalah Museum Waja Sampai Ka Puting (Wasaka) di Gang H Andir, Kampung Kenanga Ulu, Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.
Museum berbentuk rumah Banjar tipe bubungan tinggi berbahan kayu ulin tersebut tampak sepi pengunjung dari kalangan umum. Padahal, letak museum ini di kawasan akses jalan besar, di Jalan Pangeran Hidayatullah. Yang kerap datang berkunjung hanya dari pelajar sekolah, selebihnya wisatawan lokal maupun asing yang dapat dihitung jari. “Kalau ada event-event di Banjarmasin, biasanya ada wisatawan asing yang mampir,” ujar Kahfi, seorang pemandu Wisata Sejarah Museum Wasaka, di Banjarmasin, Kamis (16/2/2017).
Menurut Kahfi, Museum Wasaka itu berawal dari rumah warga. Meski tidak berani memastikan, dia menilai rumah tersebut dulunya dimiliki seorang saudagar kaya. Bahkan menurut literatur yang pernah dia baca, rumah tersebut diarsitekturi oleh orang Singapura. Keberadaan rumah tersebut rupanya memincut Ir H M Said –Gubernur Kalsel waktu itu- untuk menjadikannya museum.
“Pada 10 November 1991 bertepatan dengan hari pahlawan, Museum Wasaka diresmikan oleh penggagasnya sendiri, Ir HM Said,” ujar Kahfi.
Sejak saat itu, sambung alumni FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin ini, benda-benda bersejarah dikumpulkan, hingga saat ini mencapai 500 benda bersejarah. Namun karena minimnya tempat dan proses perawatan, sebagian ditaruh di gudang. Kendati demikian, semua benda sejarah dipamerkan secara bergiliran di museum selang waktu tertentu.
“Untuk senjata tajam biasanya dilakukan pembersihan skala berkala. Dalam pembersihannya kami sesuai SOP (standar operasional prosedur), menggunakan zat kimia khusus agar tidak merusak benda-benda bersejarah tersebut,” jelasnya.
Lebih jauh Kahfi membeberkan, senjata tajam dan benda-benda bersejarah yang kini disimpan di Museum Wasaka adalah hasil temuan dari pihak pengelola museum  dan hibah dari keluarga-keluarga para pejuang.
“Dan itu tidak mudah. Ya, kami mesti meneliti kebenaran benda bersejarah tersebut. Jadi tidak sembarangan terima,” ujarnya.
Di antara sekian banyak benda-benda bersejarah tersebut, terdapat benda-benda bersejarah milik Brigader Jenderal Hassan Basry, seperti belati dan taji yang dipercayai sebagai senjata syarat kekuatan magis.(jejakrekam)
Penulis : M Bulkini
Foto    : M Bulkini

Sunday 12 February 2017

Ibnu Hajar

TINTA sejarah revolusi di Kalimantan Selatan, selalu bicara hitam dan putih. Sosok yang menentang ketidakadilan pemerintahan Jakarta atas kebijakan demobilisasi para pejuang revolusi asal Kalimantan Selatan adalah Ibnu Hadjar. Kini masih dicap sebagai ‘pemberontak’.
DALAM kamus sejarawan FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Yusliani Noor justru melihat dari sudut pandang berbeda dengan stempel ‘pemberontak’ yang disematkan pemerintahan Soekarno-Hatta di saat berakhirnya masa revolusi mempertahankan kemerdekaan.
“Ibnu Hadjar itu adalah pejuang sekaligus pahlawan,” ucap Yusliani Noor, beberapa waktu lalu di Banjarmasin. Menurutnya, semangat haram manyarah waja sampai ka puting dari para pejuang Banjar seperti Pangeran Antasari, Demang Lehman, Tumenggung Antaludin, dan lainya justru diwarisi generasi penerusnya, seperti Hassan Basry dan Ibnu Hadjar.
Bernama asli Huderi, lahir di Kandangan sekitar April 1920, watak yang keras dan suka berkelahi sudah melengkapi pada sosok Ibnu Hadjar muda.  Lantas mengapa Ibnu Hadjar yang selalu dikaitkan dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kalimantan Selatan ini memberontak terhadap Jakarta? Yusliani Noor dalam makalahnya itu membeberkan kebijakan demobilisasi bekas pejuang gerilya di pedalaman Kalimantan melawan serdadu KNIL Belanda, adalah salah satu penyebabnya. “Sedangkan, pemicu lainnya adalah perlakuan pemerintah pusat dan daerah dan tentara republik yang baru dibentuk terhadap warga desa di Kalimantan Selatan,” ucap sejarawan yang dikenal produktif melahirkan buku-buku sejarah berkualitas ini.
Ia menyebutkan dalam program demobilisasi itu, sedikitnya ada 16.000 gerilyawan masuk tentara, setelah mengikuti ujian kesehatan dan pendidikan. Ternyata, pada Maret 1950, dari proses yang ketat itu, terjaring hanya 6.000 orang.
“Mirisnya lagi, tunjangan yang diberikan kepada para pejuang itu hanya Rp 3 sehari. Sedangkan, bagi para gerilyawan yang dilepas dari ‘dinas ketentaraan’ diberi pesangon hanya Rp 50. Sebagian demobilisasi dan sebagian lagi tidak diakui sebagai veteran.  Banyak pasukan yang desersi, termasuk di Martapura, Rantau, Kandangan dan Banjarmasin,” tutur Yusliani Noor.
Atas kebijakan yang tak adil itu, Ibnu Hadjar dan kawan-kawan membentuk barisan gerilyawan untuk melawan pemerintah pusat. Untuk meredam aksi ‘gerombolan’ versi pemerintahan Soekarno-Hatta itu, ditunjuk Hassan Basry yang merupakan kawan seperjuangan Ibnu Hadjar sebagai Pimpinan Komando Penyelesaian Wilayah Hulu Sungai, pada 20 September 1950. “Pada bulan berikutnya, didatangkan bala bantuan militer dan satuan Tentara Republik dari Jawa,” ujar Yusliani Noor.
Jakarta menilai Hassan Basry tak mampu meredam aksi pemberontakan Ibnu Hadjar merupakan bekas anak buahnya sewaktu berjuang mengusir serdadu NICA Belanda untuk menjajah Bumi Antasari lagi. “Jalan buntu dihadapi Hassan Basry, makanya jalan damai tak dipilih Jakarta. Mereka mengeluarkan perintah agar polisi dan tentara memburu para gerilyawan yang dianggap gerombolan, hingga operasi pembersihan terhadap Ibnu Hadjar dan pasukannya,” tutur Yusliani Noor.
Diakuinya, posisi dilematis memang dihadapi Hassan Basry, sebagai seorang komandan harus menumpas anak buahnya sendiri. “Padahal, mereka selama ini berjuang bersama melawan Belanda. Makanya, Presiden Soekarno menilai Hassan Basry telah gagal, hingga pada 11 November 1950, komando ini dibubarkan, seiring dengan penyerahan pasukan republik kepada Brigade F kepada Mayor Sitompul,” tuturnya.
Sedangkan, Ibnu Hadjar sendiri membentuk milisi militer tergabung dalam Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Dalam catatan sejarah revolusi, Ibnu Hadjar juga tak menyangka akan berhadapan dengan pasukan komando pimpinan Hassan Basry, padahal selama ini keduanya tergabung dalam kekuatan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
“Hassan Basry tahu betul pasukan Ibnu Hadjar sulit dikalahkan, dan tak akan mau menyerah. Hal ini sudah disaksikan Hassan Basry saat memimpin ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan ketika bertempur dengan tentara KNIL Belanda,” ucap Yusliani Noor.
Operasi senyap pun dipilih Hassan Basry dengan membujuk Ibnu Hadjar dan pasukannya agar menyerah dengan janji diperlakukan dengan baik, serta mendapat pengampunan dari pemerintah pusat.
Opsi lainnya yang ditawarkan Hassan Basry kepada Ibnu Hadjar bersama 14 ribu pendukungnya itu adalah ikut dalam gerakan Ganyang Malaysia yang dicetuskan Soekarno, ketika berkonfrontasi dengan negara yang dimerdekkan Inggris di Kalimantan Utara itu. “Termasuk, keinginan Ibnu Hadjar untuk naik haji ke Tanah Suci Makkah akan diberikan pemerintah pusat,” ucapnya.
Justru janji tinggal janji, modus untuk mengeluarkan Ibnu Hadjar dari persembunyian di pedalaman Kalimantan itu berhasil dinilai Yusliani Noor adalah cara yang ‘licik’ dari Orde Lama. Pada awal September 1963, Ibnu Hadjar ditangkap, dibawa ke Jakarta untuk diadili di Mahkamah Militer. Hukuman mati rupanya tak menciutkan nyali Ibnu Hadjar. Dengan gagahnya, Ibnu Hadjar mengenakan pakaian dinas kemiliteran dengan pangkat Letnan Dua, akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh regu tembak. “Dalam masa hukuman di kamar tahanan bawah tanah, Ibnu Hadjar seakan menikmati kesepian di akhir hayatnya. Sosok pejuang yang dulu dicap pemberantok oleh Belanda dan Republik Indonesia yang baru berdiri,” papar Yusliani Noor. Dari versi lain, Ibnu Hadjar seperti pentolan DI/TII Jawa Barat Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, ditembak regu tembak di sebuah pulau di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Sebangun dengan hipotesis Yusliani Noor, penulis sejarah lainnya Aliman Syahrani menyuguhkan tulisan berjudul Kuah Darah di Wajah Sejarah, justru berpendapat ketika era perjuangan fisik berakhir pada 1949, malah berbuntut masalah. Hal ini dipicu karena banyaknya alumnus gerilyawan tak bisa dimasukkan dalam unit keanggotaan TNI. “Padahal, mereka ini merupakan bagian dari tentara pejuang. Malah, mereka yang berjuang dalam revolusi berdarah itu dicap sebagai bandit-bandit revolusi,” tulis Aliman Syahrani.
Termasuk dalam kelompok bandit revolusi ala pemerintahan terpimpin Soekarno adalah Angli alias Haderi alias Abah Basar alias Ibnu Hadjar. Pejuang kelahiran Kampung Ambutun alias Urang Kandangan ini sangat kecewa dengan rasionalisasi gerilyawan, yang dicanangkan Mohammad Hatta dan didukung Abdul Haris Nasution, seorang mantan perwira KNIL Belanda. “Program rasionalisasi tentara ini memang menginginkan agar tentara Republik Indonesia diisi tentara yang profesional,” ujar Aliman.
Di lapangan, rencana ini tak seindah di atas kertas. Menurut Aliman Syahrani, dalam perundingan di Munggu Raya pada 2 September 1949, terjadi gesekan akibat kebijakan politik reorganisasi militer dan penerapan kebijakan politik yang diterapkan pemimpin militer dari Jakarta, justru ditentang daerah.
Dengan tes keshatan dan ujian militer yang sangat ketat dan berat di bawah pengawasan dr Soeharsono pada 27 Oktober 1949, banyak anggota ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang justru tak lolos. “Mereka tetap dianggap tentara, tapi setelah demobilisasi, mendapat perlakuan diskriminatif. Mereka hanya dikasih pesangon Rp 50, tak diakui sebagai veteran dan tak mendapat dana pensiun,” kata Aliman.
Aksi culas itu dinilai Aliman Syahrani juga terbukti ketika sekitar 40 perwira eks ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dikirim untuk mengikuti kursus Akademi Militer Nasional di Yogyakarta. Padahal, beber dia, akademi ini telah bubar hampir setahun lebih, usai agresi militer II Belanda.
Keputusan lainnya yang dianggap Ibnu Hadjar dan pejuang lainnya tak berpihak kepada pencinta republic adalah diangkatnya bekas perwira KNIL Belanda, Letkol Sukanda Bratamanggala sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam) wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah yang bermarkas di Kandangan, ketika itu. Sedangkan, Hassan Basry hanya mendapat jatah sebagai Panglima Subwilayah II meliputi Daerah Banjar.
“Seiring waktu, pada November 1951, Sukanda Bratamanggala digantikan Kolonel Sadikin. Setahun kemudian, Hassan Basry diberi beasiswa untuk belajar ke Universitas Al Azhar Mesir. Posisinya pun diduduki Mayor Situmpol, kemudian perwira dari Jawa Tengah dikirim menjadi penggantinya, Letkol Suadi Suromiharjo,” ujarnya.
Ketidakadilan pusat inilah dinilai Aliman Syahrani yang memicu pemberontakan Ibnu Hadjar dan pasukannya yang merupakan anak buah Hassan Basry. “Tak ada posisi basah satu pun yang ditempati pejuang Banua. Semua diisi orang dari seberang. Akhirnya, mereka justru menjadi tumbal revolusi tanpa berhak mencicipi kue kemerdekaan itu walau secuil,” imbuh Aliman Syahrani.(jejakrekam)
Penulis : Didi G Sanusi
Sumber : http://jejakrekam.com/2017/02/10/dua-wajah-ibnu-hadjar-pejuang-revolusi-yang-dicap-pemberontak/

Meratus Tinggal Atap

MEMPRIHATINKAN. Itulah gambaran umum atas kondisi lingkungan hidup di Banua.  Sebab, berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, tercatat 50 persen ruang wajah Kalsel sudah dibebani izin pertambangan dan sawit. 
“Dari 3,75 juta ha wilayah Kalsel, 1.242.739 hektar atau 30 persen telah dibebani izin tambang dan 618.791 hektar (17 %) dipenuhi izin perkebunan kelapa sawit,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa (10/1/2017).

Atas kondisi yang memprihatinkan itu, aktivis berambut gondrong yang akrab disapa Cak Kiss ini menganalogikan Kalsel adalah sebuah rumah, yang tersisa hanya atapnya saja. Sedangkan, beber dia, lantai dan dinding sudah rusak karena di bebani izin tambang dan lainnya.
“Atap yang kita maksud disini adalah Gunung Meratus. Bayangkan apa yang terjadi jika atapnya juga di hancur dan di eksploitasi secara massif dan membabi buta?” ucap Kisworo.
Ia  merincikan, dari total 845 izin usaha pertambangan (UIP) di Kalsel, setelah Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Tambang (Korsub Minerba) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat pada 2014 lalu, IUP yang non clear and clean (CnC) hanya 441 buah. Kemudian, per November 2016, ternyata hanya ada 387 IUP yang non CnC.
“Ini artinya, tak ada perubahan yang signifikan. Padahal, pada 2 Januari 2017 lalu merupakan batas waktu bagi Gubernur Kalimantan Selatan untuk menyampaikan hasil rekomendasi terkait IUP kepada KPK,”  tuturnya.
“Dari IUP yang sudah CnC dan kondisi di lapangan masih ada beberapa perusahaan yang melanggar baik itu reklamasi, pencemaran, dan menggarap di luar IUP nya,” tambah Cak Kiss.
Untuk itu, menurut dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan para pemangku kepentingan. Terutama dalam tata kelola lingkungan yang baik, panataan izin-izin, lubang tambang, penegakan hukum.
“Kita berharap di 2017 ini, ada angin segar dan menggembirakan  bagi masyarakat Kalsel,  ada keseriusan pemerintah dalam perbaikan tata kelola lingkungan dan penegakan hukum tidak tajam ke bawah tumpul ke atas. Tidak ada lagi bencana banjir, tidak ada lagi sungai yang tercemar, tidak ada lagi penggusuran dan perampasan tanah warga, tidak ada lagi penembakan dan intimidasi terhadap warga baik oleh preman maupun aparat,” jelasnya.
Tidak hanya harapan besar, Cak Kiss pun menambahkan ada beberapa poin rekomendasi, diantaranya Gubenur dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM )segera mencabut IUP yang berstatus non CnC sesuai dengan tenggat waktu pada 2 Januari 2017. “Kementerian ESDM juga harus segera melakukan evaluasi kembali terhadap seluruh IUP yang berstatus CnC, serta mengumumkannya kepada publik. Kemudian, stop penggusuran dan perampasan tanah rakyat, segera selesaikan konflik-konflik agraria dan lingkungan,” pungkasnya.(jejakrekam)

Sumber : http://jejakrekam.com/2017/01/10/gawat-kini-kalsel-hanya-tersisa-atap/

Panglima Batur Punggawa Perang Barito

Panglima Perang Barito

Panglima Batur (lahir di Buntok Baru ,
Barito Utara , Kalimantan Tengah pada tahun 1852 - meninggal di,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman
Barito , sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu , saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh , dengan sejumlah besar pasukan
marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905 . Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu .
Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi
sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara
adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh
anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati . Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian daripada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang se kampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja
pengadilan. Ini terjadi pada tanggal
24 Agustus 1905 . Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke
Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati . Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan
Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April
1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar. (BBS/hb6+)

Al Kindi Ilmuan Muslim


Al-Kindi memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya'qub bin Ishak Al-Kindi. Di dunia Barat ia dikenal dengan sebutan al-Kindus. Al-Kindi lahir pada 809 M di Kufah (sekarang Arab Saudi) dari keturunan suku Kindah, Arab Selatan.

Selain sebagai filsuf muslim pertama, Al-Kindi juga dikenal sebagai bapak pelopor berbagai ilmu pengetahuan. Hasil pemikirannya menginspirasi banyak ilmuwan.

Selama abad ke-9 M, Kindi termasuk salah seorang yang gemilang namanya dalam dunia ilmu kimia dan fisika. Ia juga ahli dalam bidang tata bahasa, persajakan, ilmu kedokteran, seni, dan sebagainya.

Ia menjadi pelopor utama dalam memperkenalkan masalah metafisikia, psikologi, etika, geometri, astronomi, isiologi, optika, serta pendekatan yang didasarkan atas metode logika dan ilmiah ke alam pikiran Muslim Arab. Berikut tiga warisan intelektual Al-Kindi bagi dunia:

Filsafat

Al-Kindi adalah fisuf berbangsa Arab dan filsuf Muslim pertama. Ia menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.

Ia menerjemahkan teks-teks penting. Sejak didirikannya Bait al-Hikmah oleh al-Ma'mun, al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, ia juga memperbaiki terjemahan sebelumnya.

Karena keahliannya, ia diangkat sebagai ahli istana dan menjadi guru putra al-Mu'tashim, yaitu Ahmad. Standar kosakata filosofis bahasa Arab banyak yang berasal dari al-Kindi. Jika bukan karena dia, karya filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali mungkin tidak pernah ada.

Psikologi

Al-Kindi juga dikenal piawi menguasai ilmu psikologi. Dia membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational).

Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut.

Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.

Matematika

Dalam bidang matematika, al-Kindi memainkan peran penting dalam memperkenalkan angka India ke dunia Islam dan Kristen. Dia adalah pelopor dalam pembacaan sandi. Menggunakan keahlian matematika dan medis, ia mampu mengembangkan skala yang memungkinkan dokter untuk mengukur potensi obat mereka.

Al-Kindi menulis karya pada sejumlah mata pelajaran matematika yang penting, termasuk aritmatika, geometri, angka India, harmoni angka, perkalian dengan angka, jumlah relatif, proporsi mengukur dan waktu, dan prosedur numerik.

Dia juga menulis empat volume buku tentang penggunaan angka India. Buku tersebut berjudul On the Use of the Indian Numerals (Ketab fi Isti'mal al-'Adad al-Hindi). Karya ini memberikan kontribusi besar terhadap difusi sistem penomoran India di Timur Tengah dan Barat.

Sumber : http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/02/12/ol9er1313-3-warisan-intelektual-alkindi

Perkuat Kerajinan Lokal

Diskoperin Perkuat Kerajinan Lokal

Dinas Koperasi Usaha Kecil Mikro dan  Perindustrian (Diskoperin) Kabupaten Balangan fokus mengembangkan kerajinan lokal.
Selain pembinaan dan pengembangan kerajinan yang ada, Dinas  Disperindag ini kini tengah mengali (identifikasi) kerajinan lokal yang kini masih belum dikenal luas oleh masyarakat salah satunya kerajinan anyaman (Arangan) khas masyarakat komunitas dayak meratus.
"Beberapa waktu lalu kami mendatangi dusun Hampang anak desa Uren Kecamatan Halong guna melihat langsung hasil kerajinan Arangan yang dibuat warga. Arangan ini potensial untuk dikembangkan, kedepan tentu akan kita dukung penuh," ujar Hj Megawati Ulpah Kabid Perindustrian pada Disperindag Balangan.
Identifikasi langsung kelapangan ini, kata Megawati, penting dilakukan guna memastikan seberapa jauh potensi Arangan ini bisa dikembangkan baik terkait sumberdaya pengrajinnya ataupun bahan bakunya.
Selain itu, lanjut Sekretaris Dekranasda Balangan ini, turun langsung kelapangan ini juga langkah awal untuk pengembangan kerajinan khas dayak meratus ini.
"Arangan ini sangat potensial dikembangkan, selain motif anyaman yang khas yang memiliki keindahan tak ternilai. Kerajinan yang erat dengan budaya dayak meratus ini juga bisa dimodifikasi, kedepan tentu kerajinan ini kita kembangkan," beberanya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga telah melaksanakan program tahunan yang berorientasi pada pengembangan industri kerajinan lokal salah satunya dengan mengikutkan hasil kerajinan dan industri khas Balangan pada pameran-pameran berskala nasional.
Tidak hanya sekedar  diikutsertakan pada event-event Provinsi maupun Nasional kerajinan dan hasil industri ini, menurut dia, selalu dipajang di Dekranasda Balangan sebagai setra produk khas Balangan.
"Kedepan kita juga akan fokos menjalankan Dekranasda sebagai setra publikasi kerajinan dan industri lokal Balangan agar lebih dikenal secara luas," pungkasnya

Warga Galang Dana Bagi Korban Kebakaran

Warga Galang Dana Bagi Korban Kebakaran

Musibah kebakaran yang menghabiskan 8 buah rumah warga desa Sungai Awang Kecamatan Lampihong, akibat warga yang menjadi korban kehilangan tempat tinggal dan harus tidur dirumah sanak keluarga.
Menyikapi kondisi warga yang terkena musibah kebakaran, beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa komunitas dan organisai mulai bergerak turun ke jalan untuk melakukan pengalangan dana bagi para korban.
Salah satu elemen masyarakat Fahnur mengungkapkan, penggalangan dana dilakukan di bundaran Paringin selama tiga hari berturut-turut.
"Aksi peduli korban kebakaran ini sebagai aksi solidaritas dengan sesama warga Balangan yang kena musibah kebakaran," ungkap ketua Forum Komunikasi Hijau (FKH) Melingai Citra Sanggam Balangan tersebut.
Ditambahkan salah seorang pengalang dana Syafie, mengatakan aksi tersebut sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap korban kebakaran di desa Sungai Awang ini.

“Ini dalam rangka kepedulian sosial kita terhadap korban Kebakaran. Kami menggalang dana dari siang hingga sore dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hampir Rp. 10 juta dana yang terkumpul dan rencana Senin besok (hari ini red) akan kita serahkan,” ujarnya salah satu pengurus Pramuka Balangan ini.
Sekedar untuk diingat, musibah terjadi di Sungai Awang yang menghanguskan 8 buah warga ini
bermula dari pukul 11.00 Wita baru bisa dipadamkan pukul 12.30 ini dengan bantuan oleh 37 Unit pemadam Kebakaran (BPK) yang datang dari tiga kabupaten tetangga seperti HSU, Tabalong, dan Barabai. Dan tidak ketinggalan BPK dari Balangan serta bantuan dari Pemadam Api BPBD dan Tagana Balangan

Waspada Kematian Bayi Masyarakat khususnya para orang tua, dimintai mewaspadai pada bulan februari sampai April mendatang. ...