Saturday 11 March 2017

Sejarah dan Masa Depan Indonesia di All England


cbutnasvxrkc83zffxi1


Orang-orang Inggris boleh menepuk dada sembari mengaku bahwa mereka adalah penemu banyak cabang olahraga. Sepak bola, rugbi, kriket, tenis, dan bulu tangkis, semua pertama kali dimainkan -- setidaknya dalam bentuk modern -- oleh orang-orang Inggris.
Namun, ada satu kesamaan yang dialami para atlet Inggris di semua cabang itu. Mereka bukanlah kekuatan utama dan dominan dalam olahraga-olahraga tersebut. Di sepak bola, Inggris baru pernah merasakan gelar juara dunia sebanyak satu kali. Pun demikian dengan rugbi.
Dari cabang kriket, Inggris malah belum pernah sekali pun merasakan nikmatnya jadi yang terbaik di dunia. Sementara itu, di cabang tenis dan bulu tangkis, meski dulu mereka sempat dominan, pada akhirnya supremasi harus mereka relakan ke atlet-atlet dari negara lain.
Hari ini, kejuaraan bulu tangkis tertua di dunia, All England, akan digelar untuk yang ke-107 kalinya. Sama dengan tahun-tahun belakangan, tidak ada pebulu tangkis Inggris yang benar-benar diunggulkan, selain barangkali pasangan suami-istri Chris dan Gabby Adcock. Pasangan suami-istri tersebut kini berada di peringkat ketujuh dunia dan mereka diharapkan mampu mengulangi raihan Nathan Robertson dan Gail Emms pada 2005 silam.
Meski prestasi Inggris telah lama surut, dulunya mereka adalah penguasa olahraga ini. Nama Thomas dan Uber adalah buktinya. Sir George Alan Thomas dan Elizabeth "Betty" Uber dulu merupakan nama yang amat dominan di bulu tangkis. Thomas hingga kini masih memegang rekor gelar juara terbanyak di All England dengana catatan 21 gelar di semua nomor. Uber, sementara itu, mampu mengoleksi 13 gelar.
Dominasi Thomas dan Uber ini terjadi pada era di mana semua juara All England berasal dari Eropa. Ya, sejak pertama kali dihelat di markas resimen London Scottish pada 1899 hingga tahun 1948 ketika turnamen dihelat di Harringay Arena, hanya ada lima negara yang wakilnya mampu jadi juara. Kelima negara itu adalah Inggris, Swiss, Republik Irlandia, Denmark, dan Swedia.
David Freeman dari Amerika Serikat, bersama Ooi Teik Hock dan Teoh Seng Khoon dari Malaysia, menjadi tiga pebulu tangkis yang memutus dominasi Eropa pada gelaran tahun 1949. Uniknya, Freeman dan Teik Hock sendiri saling mengalahkan di dua nomor berbeda. Jika Freeman berhasil menang di nomor tunggal putra, maka Teik Hock bersama Seng Khoon berhasil mengalahkan Freeman yang berpasangan dengan Wynn Rogers di nomor ganda putra. Sejak keberhasilan tiga atlet dari dua benua berbeda itu, All England kemudian memiliki banyak juara dari berbagai negara.
Malaysia menjadi negara Asia pertama yang mampu jadi penguasa All England, khususnya di nomor-nomor yang melibatkan pebulu tangkis pria. Bersama atlet-atlet dari Denmark dan Amerika Serikat, Malaysia berhasil membatasi dominasi Inggris di nomor ganda putri saja.
Indonesia sendiri baru bisa meraih gelar juara pertama pada 1959 melalui aksi Tan Joe Hok. Istimewanya, pria kelahiran 1937 itu mengalahkan sesama orang Indonesia, Ferry Sonneville di partai puncak. Namun, gelar juara Joe Hok sendiri kala itu hanya terasa seperti kejutan di tengah dominasi Malaysia-Denmark, terutama lewat Erland Kops, Eddy Choong, dan Wong Peng Soon.
Baru pada 1968 Indonesia mampu kembali menjadi juara. Lewat Rudy Hartono di nomor tunggal putra serta Minarni Sudaryanto dan Retno Koestijah di nomor ganda putri, Merah-Putih berkibar di Wembley. Rudy Hartono sendiri akhirnya berhasil menjadi juara sebanyak delapan kali, di mana tujuh di antaranya dia raih secara berturut-turut antara 1968-1974.
Sampai sekarang, rekor tujuh kali juara beruntun Rudy Hartono itu belum bisa dipecahkan siapa pun. Selain itu, delapan gelar juara milik pria asal Surabaya itu berkontribusi besar atas rekor yang hingga kini masih belum bisa direbut negara mana pun dari Indonesia.
Dengan 43 gelar di semua nomor, Indonesia adalah peraih gelar All England terbanyak sepanjang sejarah dan dari semua gelar itu, 18 di antaranya disumbangkan nomor ganda putra. Christian Hadinata dan Ade Chandra jadi pasangan ganda putra Indonesia yang memelopori dominasi itu. Namun, bukan merekalah yang berkontribusi paling banyak dalam urusan raihan gelar. Adalah pasangan Tjun Tjun dan Johan Wahjudi dengan enam gelarnya yang menjadi peraih gelar terbanyak.
Sementara itu, meski sudah berhasil mengangkat trofi untuk pertama kali pada 1968, pebulu tangkis putri Indonesia terhitung jarang menjadi juara di tanah Britania. Setelah Minarni-Retno, Indonesia harus menunggu 11 tahun sebelum Verawaty dan Imelda Wiguna mengangkat trofi pada 1979. Di tahun tersebut, Imelda Wiguna menjadi juara di dua nomor sekaligus, yakni ganda putri dan ganda campuran. Gelar ganda campuran yang diraih Imelda bersama Christian Hadinata itu pun menjadi yang pertama bagi Indonesia.V

Setelah menunggu cukup lama, Indonesia akhirnya baru bisa punya juara di nomor tunggal putri lewat kontribusi Susy Susanti. Pebulu tangkis yang juga peraih medali emas Olimpiade itu berhasil menjadi juara sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1990-1994. Sayangnya, empat trofi itu juga menjadi empat trofi terakhir Indonesia di nomor tunggal putri hingga sekarang.
Namun, tidak hanya di nomor tunggal putri saja Indonesia seret gelar. Di nomor tunggal putra pun demikian. Gelar juara Haryanto Arbi pada tahun 1994 adalah gelar juara tunggal putra terakhir yang bisa dibawa pulang ke Tanah Air. Setelah itu, Indonesia harus rela melihat trofi melayang ke tangan para pebulu tangkis China, Denmark, Malaysia, bahkan India.
Tahun lalu, Indonesia kembali berhasil meraih trofi lewat Praveen Jordan dan Debby Susanto. Pasangan ganda campuran itu kini berada di peringkat kelima dunia. Praveen-Debby sendiri berhasil meneruskan tren apik Indonesia di nomor ganda campuran setelah sebelumnya Tontowi Ahmad dan Lilyana Natsir menjadi juara tiga kali berturut-turut mulai 2012.
Kemenangan Tontowi-Lilyana pada 2012 tersebut berhasil memutus puasa gelar Indonesia yang terjadi selama delapan tahun. Sejak Sigit Budiarto dan Candra Wijaya menjadi juara ganda putra pada 2003, Indonesia sempat tidak mampu mengirim satu wakil pun yang menjadi juara. Padahal, ketika itu Indonesia sempat punya Taufik Hidayat yang berhasil menjadi peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 dan juara dunia 2005.
Pada gelaran tahun ini, Indonesia masih bakal sangat mengandalkan nomor ganda campuran untuk meraih trofi. Pasalnya, selain punya juara bertahan, Indonesia juga masih punya Tontowi-Lilyana yang menghuni peringkat ketiga dunia.
Namun, di dua nomor ganda lainnya, Indonesia pun punya pasangan-pasangan yang ada di 10 besar dunia. Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya Sukamuljo merupakan harapan terbesar Indonesia di nomor ganda putra. Juara China Terbuka 2016 ini sedang menghuni peringkat kelima dunia.
Sementara itu, di bawah Marcus dan Kevin, Indonesia juga punya Angga Pratama dan Ricky Karanda Suwardi yang duduk di peringkat tujuh dunia. Tahun lalu, Angga dan Ricky mampu menjadi juara Asia di Hyderabad, India.
Di nomor tunggal putra, Indonesia punya tiga pebulu tangkis yang ada di 25 besar dunia. Mereka adalah Tommy Sugiarto (16), Jonatan Christie (20), dan Sony Dwi Kuncoro (22).
Meski Tommy Sugiarto ada di peringkat tertinggi, justru Jonatan dan Sony-lah yang prestasinya lebih baik tahun lalu. Jonatan berhasil menjadi juara Asia, sementara Sony sukses memenangi sebuah ajang Super Series, Singapura Terbuka. Namun, Jonatan tidak akan turun berlaga di All England tahun ini.
Hari ini, ada tiga wakil Indonesia yang akan bertanding di babak kualifikasi. Mereka adalah Anthony Ginting dan Ihsan Maulana dari nomor tunggal putra, serta Lyanny Mainaky dari ganda putri. Anthony Ginting yang berperingkat dunia 32 akan bermain menghadapi Sourabh Verma dari India. Sementara itu, Ihsan Maulana (38) akan meladeni pebulu tangkis Jepang Kenta Nishimoto, sedangkan Lyanny Mainaky sudah ditunggu Nadia Fankhauser dari Swiss.
Dalam gelaran All England tahun ini, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) hanya menargetkan satu gelar juara. Akan tetapi, tentu tidak ada jaminan bahwa mereka yang diunggulkan bakal otomatis menjadi juara dan begitu pula sebaliknya. Dengan keberadaan pemain-pemain peringkat atas di tiga nomor ganda serta pemain-pemain muda di nomor tunggal, mungkin harapan itu boleh mulai dipupuk lagi.

sumber : https://m.kumparan.com/yoga-cholandha/sejarah-dan-masa-depan-indonesia-di-all-england?utm_source=Facebook&utm_campaign=acquisition&utm_medium=cpc

Tuesday 7 March 2017

Ada Naik Manau dan Kakuyaan


Ada Naik Manau dan Kakuyaan



Rangkaian episentrum atraksi budaya Dayak Meratus menghiasi gelaran festival pesona dayak meratus yang digelar di desa Wisata Wadian Tambai Kapul, Kecamatan Halong selama tiga hari yang berakhir pada hari Minggu lalu.
Episentrum atraksi yang ditampilkan dalam agenda tahunan yang digagas oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Balangan ini, benar-benar menjadi diskripsi pas tentang kebudayaan dayak meratus pasalnya, hampir semua yang ditampilkan merupakan rangkuman kehidupan komunitas dayak meratus sehari-hari seperti menumbuk padi, membuat anyaman (arangan), menyumpit dan permainan tradisional seperti bagasing, mutuu, balugu, kenje juga turut ditampilkan tari kreasi dayak meratus dari berbagai kabupaten yang di Kalsel.
Tak ketinggalan, acara yang sudah berlangsung untuk ketiga kalinya ini turut menghadirkan pameran kerajinan, kuliner, wisata alam dan budaya dan pengobatan tradiaional yang semuanya itu, merupakan bagian dari kebudayaan komunitas masyarakat penghuni pengunungan meratus tersebut.

Sedikitnya ada dua antraksi yang menonjol dan bisa dijadikan tulak ukur kemeriahan serta hal baru dalam gelaran festival pesona dayak meratus yang ketiga kalinya sejak 2015 lalu yakni, Tarian Banaik Manau dan Kesenian Kakuyaan.
Tari Naik Manau biasanya dibawakan oleh suku sub suku dayak deah dimana tarian ini dilakukan dengan menaiki atau memanjat pohon berduri yg disebut Manau (rotan besar). Tarian Banaik Manau ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kelebihan keahlian ilmu (magis) agar tidak tertusuk dan terluka terkena duri saat menaiki pohon Manau ini. Sedangkan kesenian Kakuyaan ialah merupakan kesenian tarik suara yang sudah sangat jarak ditemui ditengah masyarakat dayak meratus saat ini.
Menurut ketua DAD Balangan Mandan, ditampilkannya tarian Naik Manau dan Kakuyaan ini dalam rangkaian acara festival budaya dayak meratus untuk lebih memperbanyak khasanah budaya dayak meratus yang sajikan, dengan begitu masyarakat luas bisa mendapatkan diskripsi yang pas dan luas tentang kebudayaan yang dimiliki oleh dayak meratus yang selama ini masih kurang dikenal luas.
Khusus kesenian Kakuyaan, kata Mandan, memang selama ini sangat jarang ditemui maka dari itu pada gelaran festival kali ini ditampilkan.
"Selain ingin mengenalkan kebudayaan dayak meratus secara luas, lewat fastival ini kita juga ingin menjaga, melastarikan dan menumbuhkan kecintaan genarasi muda terhadap kebudayaan asli dayak meratus," bebernya.
Terkait tari Naik Manau, Mandan mengungkapkan, tarian ini menunjukan kegagahan dan kesaktian laki-laki Dayak dalam menjaga Bumi dan Tanah Leluhur mereka dari segala ancaman dan juga menggambarkan jika kehidupan orang dayak meratus tidak terlepas dari alam.
"Lewat atraksi tarian Manau dan Kakuyaan ini, kami ingin menyampaikan jika dayak meratus itu mampu menjaga alam sebagai tempat hidupnya. Selain itu, juga mengambarkan batapa erat dan harmonisnya kehidupan orang dayak meratus dengan alam khususnya hutan," jelasnya.

Tampilkan dan Libatkan Meratus Se Kalsel


Tampilkan dan Libatkan Meratus Se Kalsel



Gelaran festival Pesona Dayak Meratus selama tiga di desa Desa Wisata Kapul, Kecamatan Halong benar-benar menjadi diskripsi pas tentang kebudayaan dayak meratus di Kalsel. Sebab tidak hanya menampilkan kebudayaan dayak meratus asal Balangan tapi juga melibatkan dan menampilkan atraksi kehidupan komunitas dayak meratus yang ada di Kalsel seperti dari Kabupaten Tanah Bumbu, Tapin, Batola, Marabahn, Tabalong dan lainnya.


Selain kesenian tarian yang dibawakan oleh perwakilan Dewan Adat Dayak (DAD) se Kalsel, juga turut ditampilkan permainan tradisional yang juga turut dikuti oleh seluruh perwakilan DAD yang masing mewakili komunitas dayak meratus didaerahnya masing-masing, bahkan juga ada perwakilan yang datang dari Tamiang Layang Kabupaten Bartim Kalteng

Menurut Ketua DAD Balangan Mandan, gelaran festival Pesona Dayak Meratus ini selain menampilkan realitas kebudayaan kehidupan sehari-hari orang dayak meratus seperti menumbuk padi, membuat anyaman (arangan), menyumpit dan permainan tradisional juga sebagai ajang silaturahmi antar warga sesame dayak maupun warga non dayak.

kegiatan gelaran festival Pesona Dayak Meratus, menurut Mandan, memang bertujuan melastarikan kebudayaan dayak serta mengenalkan secara luas tetapi, juga bertujuan meningkatkan rasa persatuan baik antar suku dayak meratus yang terbagi dalam beberapa sub suku maupun dengan masyarakat luar yang secara wilayah satu kesatuan.
“Kenapa kita menampilkan sebanyak-banyaknya kebudayaan dan melibatkan seluruh komunitas dayak yang ada, karena ita ingin menunjukan kalau dayak itu satu. Dan juga bisa memperkenalkan betapa kayanya kebudayaan orang dayak meratus yang mungkin selama ini masih kurang dikenal luas,’’ bebernya.
Ditambahkan salah satu panitia pelaksana Gelaran festival Pesona Dayak Meratus, Sahdi jika selama gelaran festival ini pihaknya menampilkan puluhan atraksi kebudayaan masyarakat dayak meratus baik itu dari Kabupaten Balangan maupun dari luar Balangan.
“khusus seni tari kita menampilkan sekitar 20 buah tarian yang dibawakan masing- masing perwakilan DAD ditambah dengan lomba tradisioanal seperti bagasing, mutuu, balugu dan kenje. Untuk peserta sendiri kita mengundang dan melibat seluruh DAD se Kalsel yang jumlahnya hamper 500 orang,’’ bebernya.
Untuk setiap atraksi yang ditampilkan, menurut salah satu pengurus DAD Balangan ini, selain bisamengdiskripsi kebudayaan orang dayak meratus juga mengandung penyampaian pesan-pesan kearifan lokal orang dayak meratus yang selama ini dipegang teguh.
“Lewat Gelaran festival Pesona Dayak Meratus kita ingin masyarakat luas mendapatkan diskripsi kebudayaan termasuk falsafah kehidupan dari kami masyarakat dayak meratus yang lengkap," pungkasnya.

Gelaran Festival Pesona Dayak Deskripsi Kebudayaan Dayak Meratus


Gelaran Festival Pesona Dayak
Deskripsi Kebudayaan Dayak Meratus



Gelaran festival Pesona Dayak Meratus yang digelar sejak jumat hingga minggu di desa Desa Wisata Kapul, Kecamatan Halong benar-benar menjadi diskripsi pas tentang kebudayaan dayak meratus di Kalsel.
Hal ini tergambar jelas, lewat rangkaian acara yang ditampilkan selama tiga hari penuh ini. Dimana acara tahunan gagasan Dewan Adat Dayak (DAD) Balangan ini, selain menampilkan antraksi kehidupan komunitas dayak meratus sehari-hari seperti menumbuk padi, membuat anyaman (arangan), menyumpit dan permainan tradisional seperti bagasing, mutuu, balugu, kenje juga turut ditampilkan tari kreasi dayak meratus dari berbagai kabupaten yang di Kalsel.
Tak ketinggalan, acara yang sudah berlangsung untuk ketiga kalinya ini turut menghadirkan pameran kerajinan, kuliner, wisata alam dan budaya dan pengobatan tradiaional yang semuanya itu, merupakan bagian dari kebudayaan komunitas masyarakat penghuni pengunungan meratus tersebut.
Ada satu hal lagi yang sangat menarik dalam Gelaran festival Pesona Dayak Meratus ini yang tidak ada pada dua kali ajang sebelumnya yakni, kesenian kakuyaan yang merupakan kesenian tarik suara yang sudah sangat jarak ditemui ditengah masyarakat dayak meratus saat ini.
Menurut Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Balangan, Mandan mengungkapkan, festival pesona dayak ini adalah kegiatan yang menampilkan berbagai kebudayaan dayak meratus. Baik berupa kesenian maupun adat istiadat sehari-hari orang meratus.
Selain itu, kata Mandan, gelaran festival Pesona Dayak Meratus juga ajang kegiatan yang bertujuan memeliharaan dan mengenalkan kebudayaan dayak meratus secara luas.
Secara latar belakang, menurut Mandan, kegiatan gelaran festival Pesona Dayak Meratus ini melastarikan kebudayaan dayak meratus yang semakin hari semakin terkikis oleh informasi dan teknologi yang semakin hari semakin maju.
"Kita ingin menjaga dan melastarikan kebudayaan asli dayak meratus serta mengenalkan secara luas kebudayaan dayak meratus ini," ujar Mandan disela acara festival kemarin.
Kedepan, menurut Mandan, festival yang menampilkan kebudayaan dayak meratus ini akan dijadikan kegiatan rutin tahunan kedepannya.
"Kita ingin dengan lewat festival pesona Dayak Meratus ini masyarakat secara luas dapat mengenal apa itu kebudayaan orang dayak meratus. Baik tradisi kehidupan sehari-hari maupun nilai-nilai relegius yang dijalanlan oleh kami orang dayak meratus," tungkasnya.
Terpisah salah satu pengunjung, Ahmad Fauzan mengungkapkan, sangat beruntung bisa datang ke gelaran festival Pesona Dayak Meratus yang menyajikan berbagai antraksi kebudayaan khas dayak meratus.
Fauzan yang datang dari kota Banjarbaru ini mengaku, sangat puas terhadap sajian yang ditampilkan saat gelaran festival pesona dayak meratus yang dilaksanakan oleh DAD Kabupaten Balangan.
“Kalau bisa gelaran tahun depan festival pesona dayak meratus ini lebih meriah lagi, dengan cara menambah acara yang ditampilkan lebih banyak dan beragam. Satu lagi, kalau bisa ada satu tampilan yang lebih khusus dank has misalnya ritual aruh adat dimana selama ini belum ditampilkan dan hanya didominasi oleh penampilan seni diri,’’ pungkasnya.


Monday 6 March 2017

SISTEM PERLADANGAN DAN KEARIFAN TRADISIONAL ORANG DAYAK DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA HUTAN

SISTEM PERLADANGAN DAN KEARIFAN TRADISIONAL ORANG DAYAK DALAM MENGELOLA SUMBER DAYA HUTAN



Oleh
Prof. Dr. H. Arkanudin, M.Si
Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Pada FISIP Universitas Tanjungpura



Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sistem perladangan, yakni bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Bahkan  sistem perladangan itu telah menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak.

Pendahuluan 
Manusia adalah makhluk yang berkebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya manusia tidak hanya dapat menyelaraskan tetapi juga dapat merubah lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Hal ini karena kebudayaan itu menurut Tylor merupakan keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Garna, 1996:157). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa  dengan kebudayaan yang  baberisi seperangkat pengetahuan tersebut oleh manusia dapat dijadikan alternatif untuk menanggapi lingkungannya, baik fisik maupun sosial.
Seperangkat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia merupakan suatu proses pembelajaran dari apa yang dilihat, diraba, dirasa dari lingkungannya, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk perilaku serta diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ketika manusia mengaktualisasikan perilaku yang didasarkan pada pengelaman-pengalaman yang  positif terhadap lingkungannya maka manusia akan menjadi arif, dalam mengelola sistem kehidupan yang berwawasan lingkungan. Nilai-nilai kearifan mengelola sumber daya alam sangat penting, karena secara empiris salah satu aspek fenomena krisis yang paling menghawatirkan bilamana dalam pengeksploitasian sumber daya alam tidak dilakukan secara arif, maka lambat laun akan menjurus kepada kehancuran atau kepunahan.
Salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan. Menurut Dove (1994:xxxi)  kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa bero panjang.  Walaupun sudah seabad usaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam sistem penanaman pangan di dalam proyek-proyek transmigrasi yang ternyata gagal dan tidak ada sistem bercocok tanam yang telah ditemukan yang seberhasil sistem  perladangan dalam penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian lingkungan hutan tropika.
Sungguhpun demikian menurut Dove (1994:xxxii), sistem pertanian yang asli yang sudah menyatukan dengan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan telah diabaikan dengan menggantikannya dengan sistem yang lain yang masih dianggap asing. Dan pemerintah memandang bahwa sistem perladangan hanyalah merupakan suatu usaha yang membuang-buang tenaga saja di dalam suatu sistem yang tidak menjanjikan apapun. Walaupun ada anggapan yang demikian, namun terhadap kebiasaan yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat tergantung dari hasil hutan sulit untuk ditinggalkan. Bahkan menurut Widjono (1998:95), suku Dayak di Kalimantan menganggap hutan merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terintegral secara menyejarah. Maka tak pelak, segala kepercayaan, budaya dan perilaku mereka senantiasa bersentuhan dengan aspek kelestarian belantara.


Persepsi orang Dayak tentang  hutan dan sistem perladangan di Kalimantan

Masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan sebagaimana masyarakat adat lainnya, pada khakikatnya memiliki persepsi holistik terhadap hutan. Bagi mereka hutan tidak hanya semata-mata bermakna ekonomis, melainkan juga sosio budaya-relegius. Juga bukan hanya semata-mata berisi ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga mereka sendiri merupakan bagian dari hutan yang tak terpisahkan, dan hutan yang ada dalam wilayah kedaulatan mereka mempunyai hak kepemilikan yang jelas dan terpastikan secara hukum adat setempat (Widjono, 1998:67-68).
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan (Arkanudin, 2001:56). Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok (Sapardi, 1994:45).
Menurut Arman (1994:128-129), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, kalau mereka berladang mereka terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet, rotan, tengkawang. Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Pilihan tersebut merupakan “adaptive strategis” yang telah diuji oleh waktu dan pengalaman. Michael A. Jochim dalam Arman (1994:128), menamakannya “strategy of survival”, yang mempengaruhi perilaku kultural dari orang Dayak.
Bagi orang Dayak di Kalimantan pandangan mereka tentang hutan tidaklah dapat dipisahkan dengan persepsi mereka tentang benua, yakni suatu wilayah persekutuan hukum adat. Berdasarkan pandangan yang demikian tentang hutan, maka mereka membagi hutan dalam beberapa kawasan.  Di Kalimantan Barat berdasarkan hasil penelitian Sapardi (1991:71-72); Arkanudin (2001: 67)   terhadap orang Dayak Ribun Sanggau, menemukan bahwa orang Ribun, membaginya hutan ke dalam tiga jenis yaitu: (1) hutan rimba (hutan primer) sebagai hutan yang mempunyai pohon-pohon yang tinggi dan besar dan dibawahnya banyak terdapat semak belukar yang tipis; (2) hutan bawas (hutan sekunder) merupakan hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanam dengan berbagai jenis tanaman seperti durian, kelapa, tengkawang dan karet; (3) lalang (padang alang-alang) yaitu bekas ladang yang ditumbuhi rumput lalang (alang-alang).
Diantara ketiga jenis hutan ini, menurut mereka hutan yang paling baik dan disukai untuk berladang adalah jenis hutan rimba, namun hutan jenis ini menurut ketentuan adat tidak boleh dijadikan sebagai ladang, karena merupakan hutan cadangan, kayu-kayu yang ada dalam hutan ini hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan rumah atau memperbaiki rumah, jika ingin menmgambilnya harus terlebih dahulu meminta izin pada ketua adat.
 Hasil penelitian Mudiyono (1990:26-27), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku  memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
 Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa.   Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah  (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.
Dalam masyarakat Simpang di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, juga dikenal adanya penamaan “tanah” berdasarkan tipe-tipe vegetasi  dan letaknya, yaitu padang, lunang, tonyong, nate, dorik dan banala (Djuweng, 1992).  Demikian juga pada masyarakat Dayak Krio Menyumbung Ketapang, juga mengenal berbagai jenis tanah berdasarkan tumbuhan-tumbuhan yang ada diatas yaitu: (1)  babas rimba ruyutn (tanah rimba primer) yaitu tanah yang belum pernah diolah yang memiliki pohon besar dan terdapat berbagai jenis binatang buas; (2) babas pangorakng (tanah rimba sekunder) yaitu tanah yang pernah diladangi dandibiarkan selama berpuluh-puluh tahun, kayu yang tumbuh pada umumnya kayu jenis kelas dua derngan diameter antara 2- - 40 cm; (3) babas mudak (tanah perladangan) yaitu tanah bekas ladang yang berumur kurang dari 10 tahun; (4) babas kore (tanah kritis) yaitu tanah yang tidak dapat dibuat ladang lagi; (5) babas abur (tanah payak) yaitu tanah yang ditumbuhi sejenis rerumputan yang biasa disebut rambang (Ignasius, 1998:110). Dayak Banuaka di Kabupaten Kapuas Hulu juga memiliki istilah penamaan tentang tanah, yaitu tana’ ujung, tana’rambur, tana’kereng, tana’paya, tana’ kerangas, tana’ulut, tana’toan (Frans, 1992).
Di Kalimantan Timur hal ini antara lain ditemukan pada masyarakat Dayak Benuaq yang membagi hutan dalam enam kategori sesuai dengan fungsi peruntukannya yaitu: (1) Talutn luatn yaitu dikategorikan sebagai hutan bebas yang tidak termasuk wilayah persekutuan mereka; (2) Simpunkng Brahatn yaitu dikategorikan sebagai hutan yang diperuntukan untuk berburu serta memungut hasil hutan bukan kayu; (3) Simpukng Ramuuq yaitu hutan yang dikategorikan sebagai persediaan yang diperuntukan bagi pembuatan bangunan rumah dan kampung; (4) Simpukng Umaq Tautn yaitu hutan yang diperuntukan untuk kawasan  praktek perladangan karena memang umaq tautn merupakan hutan persediaan yang difungsikan untuk perladangan; (5) Kebotn Dukuh yaitu merupakan hutan yang dimanfaatkan untuk lahan perkebunan; (6) Simpukng Munan, yakni hutan bekas ladang atau kawasan sekitar kampung yang ditanami pohon dan atau tanaman keras (Widjono, 1998:68). Dalam masyarakat Kenyah juga mengenal aturan tentang kapan, siapa dan bagaimana hutan sekunder atau ladang yang sedang diistirahatkan dapat dimanfaatkan  kembali. Di Kalimantan Tengah, pada masyarakat  Dayak Katingan juga dikenal  istilah Petak Lewu/Petak Wales/Petak Sutrat, Petak Kebun yang terdiri dari kebun Gita/Bua, Kebun Ueu, Kebun Kupi, kemudian Petak Tana, Petak Luaw/Petak Ayap, Taya, Petak Kereng/Petak Napu, Himba Lakau dan Petak Malai (Moniaga, 1994:72).
Berbagai persepsi orang Dayak terhadap hutan tersebut, memberi pemahaman bahwa hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994:129). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan, yakni suatu  bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Ukur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Atas dasar inilah Widjono (1998:77) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya. Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam  Soedjito (1999:115), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. 
Menurut Arkanudin (2001:40), bahwa dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994:13), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991:60-63), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Adanya korelasi yang adikodrati antara manusia dan hutan tersebut menurut Ukur (1994:14) terlihat dari lambang-lambang yang ditemukan seperti Kayu Ara, Pasang Rura, Pisang Bangkit, Batang Garing, Pohon Kupang, Akar, Tulang Daun dan sebagainya semuanya menggambarkan keterkaitan yang sangat erat antara manusia dengan pohon/hutan. Dijelaskan oleh Ukur dalam salah satu mite yang menunjukkan adanya keterkaitan tersebut, yaitu cerita Petara bersama isterinya menciptakan pasangan manusia dari pohon Pisang Bangkit, sedangkan darahnya dibuat dari getah Pohon Kupang. Dekatnya hubungan sosial ekonomi dan religi antara orang Dayak dan hutan membuat mereka merasa dilecehkan atau direndahkan ketika hutan yang merupakan bagian dari kehidupannya diekploitasi sedemikian rupa oleh perusahaan HPH.

Sistem Perladangan merupakan bukti kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutan
Menurut Widjono (1998:69), alam pikiran orang Dayak sesungguhnya memiliki sentuhan yang mendalam dengan alam lingkungan sekitar. Pemikiran semacam itu amat bercorak sosio religius megis. Hal inilah yang mendasari realita bahwa, masyarakat Dayak merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan itu sendiri. Wawasan yang holistik ini membuat orang Dayak tidak melakukan pemilahan antara manusia dengan alam sekitarnya, malah keduanya memiliki kekuatan dan kekuasaan yang saling mendukung untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Alam pikiran yang semacam itu, dalam kehidupan sehari-hari terimplementasi dalam praktek tradisi dan upacara adat, termasuk pula dalam perilaku mereka terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Dalam kegiatan bertani suku bangsa Dayak dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang, tidak dilakukan sesuka hatinya, terdapat sejumlah aturan yang harus dipatuhi, hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tetap terjaga kelestariannya. Dalam pengelolaan hutan pada dasarnya orang Dayak selalu berpangkal dari sistem religi. Hakekat yang terkandung di dalam sistem religi adalah menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta, sehingga terwujud keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan.
Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan melain sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan memanfaatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi  atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.
Menurut Kiang (1994:33), ada beberapa jenis burung yang dipercayai menjadi rasi bagi orang Dayak ketika mereka akan membuka hutan untuk dijadikan sebagai ladang yaitu: (a) burung Keto; (b) burung Buria; (c) burung Jantek; (d) burunh Jeje; (e) burung Bubut; (f) burung Bura; (g) burung Lang; (h) burung Tabulangking; (i) burung Cabik Kapan; dan (j) burung Cacap. Sedangkan jenis binatang yang menjadi pratanda rasi menurut kepercayaan masyarakat adalah: (a) Kokor (sejenis Tupai); Kunink (sejenis Jangkrit); (c) Ular; (d) Kijang (Kijank); (e) Semut Sembada (Semut Merah); (f) Ilik-ilik (sejenis Belalang); (g) Ansit (sejenis Jangkrik) dan (h) Papo/Geragah. Disamping itu juga ada beberapa jenis burung yang bukan meruakan rasi, tapi apabila masuk ke rumah bisa menjadi rasi misalnya burung Hantu dan burung Imbuk.
Adapun ciri dan makna dari rasi tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: Burung Keto, badannya kecil bunyi suara besar, sama dengan namanya  dan jarang terdengar. Menurut kepercayaan orang Dayak Kanayant bahwa: (a) burung Keto lah yang membawa padi  dari tempat tinggal Tuhan (dalam istilah Kanayant disebut Jubata) ke dunia;  (b) jika suara burung Keto bersuara tunggal dab hanya satu ekor yang bersuara, maka ladang yang ada boleh dikerjakan, dan jika suaranya banyak sekali maka ladang yang ada tidak boleh dikerjakan; Burung Cece, badannya kecil suaranya sama dengan namanya dan suara cukup besar. Menurut kepercayaan  orang Dayak Kanayant suara burung Cece pertanda kurang kurang baik. Burung ini dipercaya mempunyai hubungan dengan dewa yang sangat ditakuti (dewa tanah, istilah Kanayant disebut kamang). Jika suara burung ini terdengar dari samping, belakang, atau depan menandakan: (a) dalam perjalanan pulang akan mendapat kesulitan; (b) pada waktu mengerjakan ladang, ladang tidak akan berhasil. Kemudian bila suara burung ini terdengar pada malam hari menandakan: (a) mungkin ada diantara keluarga yang akan meninggal; (b) rumah atau lumbung padi akan terbakar; Adatn, yaitu ranting atau dahan kayu jatuh tanpa ada penyebabnya, hal ini dipercaya akan mendatangkan bencana.    
Menurut kepercayaan orang Dayak, bilamana dalam aktivitas berladang terutama dalam memilih lakosi yang akan digarap, bilamana menjumpai berbagai rasi tersebut, maka perlu dilakukan upacara dengan mempersembah sesajen dengan maksud  agar roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib tidak mengganggu kehidupan mereka baik secara individu ataupun kelompok.   
Berbagai kepercayaan sebagaimana yang digambarkan tersebut, menandakan bahwa orang Dayak memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yakni suatu kejadian yang dipandang suci, atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang kearifan pengelolaan sumber daya hutan (Widjono, 1995: 34).
Alam pikiran orang Dayak menerangkan bahwa, selain manusia dan makhluk hidup lain yang hidup dibumi, terdapat pula sosok lain yang tinggal dalam alam semesta ini. Mereka menyebut tempat itu sebagai Negeri diatas langit, Negeri dibawah tanah, Negeri Arwah.  Dewa penghuni negeri di atas langit digambarkan sebagai burung Enggang, lambang keperkasaan, sedang bumi dibawah tanah, digambarkan sebagai Naga, lambang kesuburan (Widjono,1995:35)      
Menurut orang Dayak, alam semesta ini memiliki tata tertib, demikian juga hubungan manusia dengan penghuni di negeri lain, juga memiliki aturan dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan antara negeri-negeri tersebut. Sedangkan hukum alam yang berlaku di dunia, merupakan penjelmaan tata tertib alam semesta. Demikian juga etika sosial dan tradisi masyarakat yang turun temurun merupakan penjelmaan tata tertib yang baku dari alam semesta ini (Widjono, 1995:36).   Bahkan Ukur (1994:15), menyatakan bahwa bagi orang Dayak, makna hidup tidak terletak dalam kesejahhteraan, realitas, atau obyektivitas seperti dipahami oleh manusia modern, tetapi dalam keseimbangan kosmos. Kehidupan itu baik apabila kosmos tetap berada dalam keseimbangan dan keserasian. Setiap bagian dari kosmos itu (termasuk manusia dan makhluk lainnya),  menurut Ukur mempunyai kewajiban memelihara keseimbangan semesta. Peristiwa-peristiwa mitis  bagi orang Dayak adalah realitas transendental, artinya obyektivitas mite yang telah kita lihat menjadi jelas bahwa lingkungan sekitar dipahami sebagai segala sesuatu ada di lingkungan hidup, flora, fauna, air, bumi, udara dan sebagainya. Makna religi dari lingkungan sekitar ini dilihat baik dari segi obyektif maupun dari segi subyektifnya.    
Berdasarkan mitologi tersebut orang  Dayak, percaya dan berkayakinan bahwa alam semesta ini  penuh dengan kekuatan gaib. Bila tata tertib alam semesta ini terpelihara dengan baik, maka kekuatan gaib itu dalam keadaan harmoni. Namun bila tata tertib alam semesta ini terganggu, maka kekuatan-kekuatan gaib itu mengalami kegoncangan. Untuk menjaga itu semua agar kelangsungan hidup mereka dapat terjamin, maka tata tertib alam semesta tetap mereka patuhi. Salah satu upaya mereka dalam mematuhi tata tertib tersebut, terlihat dalam pelaksanaan sistem berladang, dimana dalam berladang mulai dari memilih hutan yang akan dijadikan sebagai tempat untuk berladang hingga sampai panen padi selalu dilakukan suatu upacara tertentu. Disamping itu juga  hutan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka tidak semuanya diperuntukan sebagai tempat untuk berladang.
Dalam berladang pada suku Dayak umumnya yang menjadi perioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku dayak bersifat subsisten. Keanekaragaman ini diperlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan umur padi.
Disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga mereka menyempatkan diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok Kalau diamati jenis tanaman yang ditanami antara lain tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan sebagai pratanda bahwa hutan tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Kemudian setelah seluruh pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu sebagiannya mereka tanam kembali dengan pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.
 Kearifan tradisional melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon buah-buahan yang bermanfaat serta berbagai jenis tanaman keras pada bekas ladang ini, menurut Widjono (1998) telah mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Menurut Dove (1988); Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya, kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem  ekonomi mereka bersifat subsisten dan terlepas dari ekonomi pasar.
Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumber daya hutan di Kalimantan masih dapat kita temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di tempat lain, misalnya di Kalimantan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumber daya hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumber daya hutan.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka sebagai perusak hutan tidaklah beralasan, hal ini karena dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang peralatan yang digunakan hanyalah mengandalkan kapak dan parang. Berbeda dengan para pemegang HPH yang memobilisasi banyak pekerja dan memanfaatkan teknologi tinggi. Pengelolaan hutan dengan memanfaatkan teknologi tinggi membuat konsep berladang sebagai salah satu model kearifan suku Dayak semakin tergusur dan nampaknya hal ini hanya akan tinggal menjadi cerita sejarah orang Dayak dalam mengelola sumber daya alam.

Penutup
Kearifan tradisional orang Dayak dalam megelola sumber daya hutan, secara khakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun dan meneladani masyarakat Dayak untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta.
Meskipun apa yang dilakukan orang Dayak tersebut, ada yang tidak logis karena mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib, sehingga  dalam setiap memulai sesuatu pekerjaan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan selalu terdapat unsur permisi atau minta izin terhadap penghuni hutan. Namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan orang Dayak tersebut adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan, sehingga harapan yang lebih jauh adalah tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh orang Dayak,  terutama dalam mengelola sumber daya hutan, memang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk melestarikannya, karena hal tersebut merupakan nilai-nilai tradisional yang berakar dari budaya  bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 2001. Perubahan Sosial Peladang Berpindah Dayak Ribun Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Bandung: Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas Padjadjaran.  

Arman, Syamsuni. 1989. Perladangan Berpindah Dan Kedudukannya Dalam Kebudayaan Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah di Sampaikan Dalam Dies Natalis XXX Dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.

Bamba, John, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut Budaya Dayak Dan Tantangan Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V, Maret-April 1996, Pontianak. 

Djuweng, Stepanus. 1992. Kampong Loboh Laman Banua: Konsep dan Praktek Pengusahaan Teritorial Pada Suku Dayak Simpang, Kota Kiniu Balu: Makalah disampaikan dalam Konfrensi Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Dove, Michael R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

-------------------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan, Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Frans, S. Jacobus E. 1992. Pola Pengusahaan Tanah dan Beberapa Permasalahan Pada Masyarakat Dayak Banuaka’ di  Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Kota Kini Balu: Makalah disampaikan dalam Konferensi Dua Tahunan kedua, Boreneo Research Council.

Garna, Judistira. K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana UNPAD

Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pem,berdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masayarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur Kasih.
  
Kiang, Edy, 1994. Naik Dango Antara Suatu Kepercayaan Dan Upacara Adat, Dalam: Suara Almamater Nomor 1 Tahun XI, April 1994, Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.

Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah,  Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.

Mubyarto, dkk. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan Di Kalimantan Timur, Yogyakarta: Aditya Media.

Moniaga, Sandra. 1994. Ppengetahuan Masyarakat Dayak Sebagai Alternatif Dalam Penanganan Permasalahan Kerusakan Sumber Dayak Alam di Kalimantan, Suatu Kebutuhan Mendesak.  Dalam: Paulus Florus (ed),Kebudayaan Dayak, Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta:LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sapardi. 1991. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Jakarta:Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

-----------------.1994.  Ilmu Pengetahuan Masyarakat Asli Tentang Ladang: Suatu Studi pada Masyarakat Ribun dan Parindu di Kecamatan Parindu  Kabupaten Sanggau Kalbar,  Pontianak: Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura No VI Tahun XI, September.


Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor),Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi, Pendayaangunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama Press.

Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dar Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transfortasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor 13 Tahun IV, Oktober- Desember.

------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.





















Diposkan 26th April 2012 oleh arkanblog
  
Lihat komentar
1.
imam ciprut7 Januari 2014 05.22
Keren sob

www.kiostiket.com
Balas

Waspada Kematian Bayi Masyarakat khususnya para orang tua, dimintai mewaspadai pada bulan februari sampai April mendatang. ...