rang awam senang, lihat petinggi negeri berselfie.
Politisi gondok, petinggi negeri jadi pesaing berselfie.
Negarawan berpikir, pantas negeri kisruh. Wong petinggi tak paham jebakan selfie.
“Koq pak Erie seperti yang lain juga ya…”, komen Kang Sigit.
Kekekekekek.... Malu juga dengar komentar salah satu pemilik RM Ampera ini. Sambil senyam senyum Kang Sigit beringsut mendekat. Terima ajakan berselfie.
Selfie ini bukan demam. Tapi sudah jadi kebutuhan utama. Tak usah di tempat yang menarik. Atau bertemu dengan tokoh besar. Wong wajah dimencongin pun jadi bahan selfie. Anak-anak sekarang gimana ya…
Kekekekekek.... Malu juga dengar komentar salah satu pemilik RM Ampera ini. Sambil senyam senyum Kang Sigit beringsut mendekat. Terima ajakan berselfie.
Selfie ini bukan demam. Tapi sudah jadi kebutuhan utama. Tak usah di tempat yang menarik. Atau bertemu dengan tokoh besar. Wong wajah dimencongin pun jadi bahan selfie. Anak-anak sekarang gimana ya…
“Anak-anak sekarang, maksud elo gimana, Bro? Elo sendiri minta selfi. Lha koq protes sikap mereka. Ngaca ngapah, ngacaaa!” Sindir bathin saya.
Saat sedang nikmati rasa malu berselfie, sms masuk: “Mas, lihat gak pejabat rebutan selfie dengan tamu negara?” Astaghfirullah, saya kelu melihatnya.
Bagi banyak orang, selfi jadi alat dongkrak diri. Itu cerminkan posisi. Bagi yang bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa, selfie jadi sakti mandraguna. Ketika di tempat tertentu, atau jumpa tokoh, selfienya jadi bukti “dirinya juga berharga lho”. Yang kaya dan cerdas sama. Bagi kalangan yang sudah punya posisi, seperti juga politisi atau pejabat, selfi bukan untuk dongkrak diri. Itu pertegas posisi. Selfie si kaya, terlihat dari jalan-jalannya. Selfie di luar negeri. Kuliner dunia atau belanja di tempat eksklusif. Berselfie di stadion Manchester United. Atau selfie di arena balap jet darat F1. Selfie orang-orang cerdas agak beda. Tujuan sih sama, posisi juga. Berselfie di kampus Harvard Amrik, atau di Sorbone Perancis. Dahaga intelektualitasnya terpenuhi ketika bisa berselfie bersama guru besar atau pemenang Nobel. Sementara bagi politisi, bisa selfie bersama Donald Trump, itulah penghias karir. Atau duuuh betapa bangga bisa berselfie dengan Vladimir Putin atau Tony Blair. Entah apa bisa ini dikatakan puncak “karir politisi”?
Sesungguhnya itulah selfie. Menguak pribadi siapapun. Saya sering tersenyum lihat tingkah ABG berselfie. Juga sering kecut lihat ibu-ibu reunian. Sebab gayanya itu lho. Tak mau kalah dengan anak-anak gadisnya.
Cuma yang buat shock ketika petinggi negeri rebutan selfie dengan tamu negara. Ini bukan soal sepele. Selfie pejabat bisa kuak “apa yang sesungguhnya tengah terjadi di negeri ini”.
Ke-1 apa yang mustahil di negeri lain, terjadi di negeri ini. Saya belum pernah lihat pejabat negeri lain berselfie saat acara kenegaraan. Di kita, na’udzubillah mindzalik. Terpikir ga sih, apa yang ada di benak Raja Salman dan komentar mereka yang jadi tamu negara?
Ke-2 ini acara kenegaraan. “SOP terketat di dunia” ada di acara kenegaraan begini. Foto jelas hal utama. Pejabat selfie, dia tak paham 3G (good goverment governance). Rakyat tak tahu 3G lumrah. Saat pejabat negeri tak paham, alamaaak...
Ke-3 tata protokuler diterabas. Tak sadar, orang di sekitar istana diberi bahan ghibah. Agaknya selfie kini jadi bagian tak terpisah dalam gedung negara. Jangan-jangan ketika rapat kabinet penuh dengan selfie yang menyita waktu.
Ke-4 secara pribadi, berselfie itu perlihatkan kualitas orangnya. Setidaknya dalam etika dan sopan santun. Pantas saja mengelola pemerintahan dengan wajah merah, mata melotot, dan kata makian tak lagi mengusik pembesar negeri.
Ke-5 secara kebangsaan, “tak ada lagi rasa malu”. Sumpah, malu saya jadi orang Indonesia. Lha pimpinannya saja begitu. Apalagi saya yang rakyatnya. Indonesia ini negara besar. Tapi bagi Singapura, jangan-jangan lagi “Indonesia dianggap buih” saja.
Yang lelaki sontoloyo. Yang perempuan sintiliyi. Yang LGBT soantoaloayoa. Yang pegawai, senteleye. Yang swasta suntuluyu.
Ke-6 bolehkah dibilang selfie itu puncak pencitraan? Jika boleh, citra itu kan cuma topeng. Sandiwara. Yang saya khawatirkan, ini kerja sandiwara. Kerja tak tampak, sulitkan media pendukung sibuk bermanuver dari “satu citra ke citra berikut”.
Ke-7 saya berharap bisa ada penjelasan kerja sama apa yang bisa buat sejahtera rakyat. Eh koq malah video yang saya tonton bicara soal makan.
Selfie dan video terlanjur terwarisi. Bagaimanapun yang mewarisi adalah pemimpin saya. Meski sumbernya berasal dari Reuter, saya anggap semua itu hoax. Kemarin, kini, dan esok 240 juta rakyat Indonesia terus menunggu dengan harap-harap cemas.
Maka “Ayo, Pemimpinku. Bangkitlah Berbenah. Lupakan selfie dan pencitraan".
Sumber : http://harkatnegeri.org/index.php/publikasi/gagasan/100-selfie-penguak-perilaku.html