Saturday, 10 December 2016
Jalan Baliuk Tradisi Pengantin Di Pahuluan
Jika tradisi Pangantin Bausung atau Bausung Pangantin dikenal menjadi ciri khas dari kebudayaan urang banua saat menjalani prosesi perkawinan (ba'arak pangantin), ternyata banyak tradisi unik lainnya yang ada saat berlangsung prosesi perkawinan khususnya di daerah hulu sungai.
Salah satunya "Jalan Liuk" yang hingga kini tradisi turun termurun tersebut masih dilestarikan oleh warga desa Marias Kecamatan Juai saat melangsungkan acara pengantinan.
Tradisi "Jalan Liuk" dilaksanakan pada malam hari sesudah siangnya digelar persepsi kedua mempelai. Keunikan tradisi ini, ialah pengatin harus masuk kejalur kotak-kotak yang dibuat dari tali dan mirip taman labirin dari dua buah pintu bersebarang dan harus bisa bertemu ditenga-tengah.
Menurut salah satu tokoh masyarakat desa Marias
H Syaprani (64 tahun) tradisi Jalan Liuk ini sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat dan hingga kini masih diletarikan.
Tradisi Jalan Liuk, kata Syaprani, dilakukan pada malam hari ditengah tanah lapang yang sudah buat jalur jalan berkelok-kelok (Baliuk-baliuk) dengan mengunakan tali dan pengantin beserta pengiringannya harus bisa menemukan jalan agar sampai ditengah-tengah sehingga bisa bertemu dengan pasangannya.
"Pasangan pengantin harus terpisah satu sama lain saat masuk diareal jalan baliuk yang dibuat. Pasangan pangntin juga ditemani tiga orang Pantul, satu bertugas sebagai penunjuk jalan dan dua lainnya sebagai pengiring," ujar pria paru baya ini.
Selain ditemani Pantul, kata pelaku tradisi jalan liuk ini, saat acara Jalan Liuk dilaksanakan juga harus diiringi musik gemalan dari awal sampai akhir.
Tradisi Jalan Liuk ini, lanjut dia, bukan hanya sekedar tradisi hiburan tapi juga mengandung pembelajaran serat makna dibaliknya.
"Tradisi Jalan Liuk ini sebenarnya adalah sebagai nasihat bagi pasangan pangantin, jika dalam mengarungi kehidupan rumah tangga nantinya pasti mengalami berbagai masalah. Inilah yang dimaksud Jalan Baliuk, artinya kehidupan rumah tangga tidak hanya akan senang selalu jalannya lurus tapi juga akan ada masalah yakni, jalannya Baliuk," jelasnya.
Lebih jauh, dirinya mengungkapkan, selain tradisi Jalan Liuk juga ada beberapa tradisi lainnya pada upacara pengantin diantaranya, Bausung, Bahantu Sandah dan Basisingaan.
Hantu Sandah sendiri, menurutnya, sejenis ondel-ondel tapi wajahnya dibikin seram sedangkan sisinggaan merupakan duplikan singga yang dimainkan oleh dua orang sama seperti Barongsai.
"Hantu Sandah dan Sisinggan ini mengambarkan makhluk dari gunung atau hutan yang datang ketempat keramain," jelasnya.
Balawang Tujuh Bagunung Api Bagi Bagi Janda Yang Kawin Lagi
"Pung pung halu gara gicak giyang-giyang, takumpul sama pada balu jangan bahiri nang bujang, Pung pung halu gara gicak giyang-giyang asal jangan Bamadu dihadangi siang malam. Naik malam, baliliukan balawang tujuh, Bagunung Api" itulah bait pantun yang mengambarkan tradisi unik dalam persepsi perkawinan di Kecamatan Lampihong.
Jika di Kecamatan Juai ada tradisi "Jalan Baliuk" maka di Lampihong ada istilah "Balawang Tujuh Bagunung Api" dimana tradisi ini diperuntukan bagi pasangan pengantin yang berstatus Duda maupun Janda yang melakukan persepsi perkawinan.
Sama seperti tradisi Jalan Baliuk, Balawang Tujuh Bagunung Api ini juga digelar saat malam hari dan diiringi musik khas banjar panting serta gunung api yang terbuat dari puluhan obor yang tancap dirangka yang menyerupai atap rumah atau seperti gunung.
Menurut Hj Asanah (53 tahun), tradisi Balawang Tujuh Bagunung Api dulunya dilaksanakan hampir diseluruh wilayah Balangan, namun kini hanya ada disekitaran Kecamatan Lampihong itupun hanya ada di desa-desa tertentu.
Balawang Tujuh sendiri, kata warga desa Lampihong Kiri Kecamatan Lampihong ini, adalah dimana pasangan pangantin harus terlebih dahulu memasuki pintu (pagar) yang buat sebanyak tujuh kelokan (Liukan) yang dibuat dari sarung perempuan (tapih bahalai) ataupun tali biasa sebelum naik kepelaminan yang berada dalam rumah.
Sedangkan bagunung api, lanjut wanita paru baya ini, adalah puluhan obor yang disusun diatas rangka menyerupai atap rumah atau gunung. Gunung Api ini digunakan saat mengantar (Ma arak) pengantin pria kerumah penganti wanita.
"Tradisinya jika orang yang berstatus janda (Balu) kawin lagi, maka pesta resepsi perkawinan dilakukan malam hari atau diistilahkan Naik Malam. Nah Balawang Tujuh dan Bagunung Api inilah bagian dari hiburan pada pesta resepsinya," jelasnya.
Kalau filosopi dari Balawang Tujuh dan Bagunung Api sendiri, lanjut dia, hingga kini tidak terlalu jelas. Tapi bisa saja, makna dari Balawang Tujuh adalah pesan bagi pasangan yang baru menikah jika dalam berumah tangga banyak pintu (Lawang) yang diasumsikan sebagai masalah harus dilalui secara bersama-sama.
"Kenapa harus jumlahnya Tujuh, mungkin dalam kehidupan kita harus melewati tujuh hari,"
Gelaran tradisi Balawang Tujuh ini, biasanya diiringi oleh musik Panting ataupun musik gemalan sebagai hiburan tambahannya.
"Biasanya musik Panting atau Gemalan ini sudah dimainkan sejak pasangan pria diarak menuju rumah pengantin wanita dan berhenti jika pasangan sudah duduk bersanding didalam rumah," jelasnya
Bausung Naga Saat Ba Arak Pangantin.
Jika di Balangan ada tradisi Jalan Baliuk dan Balawang Tujuh Bagunung Api saat persepsi perkawinan, di Hulu Sungai Tengah (HST) ada tradisi unik lainnya yakni, Bausung Pengantin Baarak Naga.
Baarak Naga ini digelar secara bersamaan dengan prosesi baarak pangantin yang disertai diusung sebelum kedua mempelai duduk di pelaminanan.
Menurut salah seorang dalang pewayangan, Ufik (40 tahun) tradisi Baarak Naga saat Bausung Pangantin sudah menjadi tradisi turun temurun.
Baarak Naga ini, kata warga desa Barikin Kecamatan Haruyan ini, ialah dimana sepasang ornamen Naga di letakkan di samping kiri dan kanan untukmenggapit pengantin saat prosesi baarak. Kedua Naga ini bernama Salera dan Wisakutara.
"kalau dulunya, ornamen Naga ini bukan dijadikan arak-arakan, tapi hanya untuk menggapit pengantin di kiri dan kanan saat berada diatas pelaminan atau panggung yang sering disebut Balai," bebernya.
Seiring perkembangan jaman, menurut pengiat Sanggar Anak Pandawa ini, tradisi Baarak Naga hiasan Naga yang digunakan pun dimodifikasi, biasanya mengunakan mobil untuk dihias menjadi Naga dan pengantin yang di arak di duduk di atas badan Naga atau pelaminan kecil yang di dampingi dua orang pengawal dengan pakaian layaknya seorang pengawal sebuah kerajaan dan diiringi dengan musik-musik yang menggunakan alat musik khas banjar seperti Gong, sarunai, gemelan dan sebagaianya.
Tradisi Baarak Naga, lanjut Ufik, sebenarnya tidak menganduk makna arti apa-apa, karena hal tersebut tidak termasuk dalam adat-istiadat pelaksanaan perkawinan. Tetapi menjadi suatu hal yang wajib jikalau sudah ada hajat dari keluarga pengantin ingin mengelar acara Baarak Naga ini.
Legenda adanya tradisi Baarak Naga sendiri, menuru dia, dimulai dengan ada sebuah cerita dimana ada seokor Naga bergelar Rimpang tinggal di sungai yang dalam yang dinami Lok= Liang dan Laga = Naga, dan disebutlah Liang Naga atau tempat Naga yang sekarang berada di desa Mu'ui Kecamatan Haruyan.
Kemudian masyarakat setempat, membuat ornamen Naga terbuat dari kayu yang diletakan dalam Jukung dan digunakan saar acara pengantin.
"Tapi anehnya, Naga yang terbuat dari kayu bergerak seakan hidup. Karena takut ornamen naga ini ditebas oleh warga dengan Parang, tapi ternyata mengeluarkan darah karena tebasan Parang tadi, sehingga di beri gelar si Naga Rimpang," ungkapnya.
Di Desa Barikin Kabupaten HST sendiri, tiap tahunnya masyarakat pasti mengelar tradisi bearak Naga ini meskipun satu kali setahun.
Bagunung Perak dan 6 Kategori Perkawinan Dayak Mertaus
Selain Balangan dan HST, ternyata tradisi unik dalam resepi perkawinan juga ada di Tabalong tepatnya di desa Warukin Kecamatan Tanta.
Tradisi unik dikalangan suku Dayak Maanyan yang menjadi mayoritas warga Warukin ialah Bagunung Perak. Tradisi perkawinan adat atau Iwurung Juee Bagunung Perak ini hanya dapat dilakukan oleh keturunan raja, bangsawan atau orang kaya karena biaya cukup besar.
Menurut Kabid kebudayaan pada Disporabudpar kabupaten Tabalong, Abdul Syarif Mirza mengungkapkan, tradisi ini dilakukan berdasarkan garis keturunan, jika tidak pernah ada yang melaksanakan, maka anak cucunya juga tidak boleh atau akan terkena bala.
"Tradisi Bagunung Perak ini dimulai dengan saling bertukar pantun saat mempelai pria datang ketempat mempelai perempuan sambil diiringi tarian yang dikawal seorang balian bawo hingga masuk ke rumah mempelai wanita," ungkapnya.
Setelah itu, kata Syarif Mirza, baru pengulu adat yang bertugas menikahkan pasangan tersebut menyatakan pemenuhan hukum adat sesuai dengan hukum yang sudah diatur dan dijalankan. Pasangan mempelai pun siap disandingkan di pelaminan yang disangga kepala kerbau.
"Saat proses perkawinan inilah Bagunung Perak dilakukan. Dimana yang dimaksud Bagung Perak adalah ornamen gunung berbentuk payung dengan berbagai hiasan termasuk uang," bebernya.
Lain lagi tradisi di komunitas dayak meratus di Balangan, khususnya pada masyarakat dayak Halong Kebupaten Balangan yang merupakan salah satu komunitas dayak meratus, terdapat 6 kategore perkawinan yakni, Jampi Pa'ungn, Jampi Barondayan, Jampi Barabutan, Jampi Kataguran, Jampi Ha Lehung dan Jampi Huang Wuwuu.
Menurut Sekretaris Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Balangan, Eter Nabiring mengungkapkan, ke enam kategore dalam perkawinan dayak Halong adalah istilah atau ungkapan untuk mengambarkan proses terjadinya perkawinan itu sendiri.
Putra asli dayak Halong ini mencontohkan, Jampi Pa'ung atau perkawinan dasar adalaha perkawinan melalui proses lamaran dan pertunangan terlebih dahulu. Sedangkan, Jampi Barondayan gambaran untuk perkawinan yang dilakukan oleh orang yang sudah berstatus duda atau janda, tetapi tetap melalui proses meminang.
"Jampi Barabutan adalah perkawinan yang terlaksana karena pihak perempuan meminta kepada pengulu adat untuk dikawinkan dan harus melalui tahapan beberapa ketentuan adat," ungkap pengarang kamus bahasa dayak Halong ini.
Lebih rinci, Etet menjelaskan, untuk kategori Jampi Kataguran adalah perkawinan karena ditegur atau tertangkap basah (I'gandak) oleh wali asbah lalu dikawinkan. Lain lagi untuk istilah Jampi Ha Lehung atau Ngampang yang merupakan perkawinan yang terjadi karena pihak perempuan hamil diluar nikah.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, kategori perkawinan Jampi Huang Wuwu ialah perkawinan antara saudara kandung. Perkawinan ini amat jarang terjadi, namun pernah terjadi pada masa lampau.
"Semua kategori perkawinan ini ada ketentuan aturan adatnya, baik itu besaran mahar, denda adat maupun hari penetapan pelaksanaan perkawinannya ataupun proses pelaksanaan sidang adat perkawinan," bebernya.
Secara keseluruhan, menurut Eter, dalam hal perkawinan dayak Halong diatur lewat sidang adat perkawinan. Dimana ada beberapa rangkaian atau unsur tatacara sidang adat perkawinan yang dimulai dengan, adanya waris (wali asbah), Penyancangan (pimpinan sidang), pembayaran timpah, pembayaran mahar (jujuran), lalu kedua mempelai duduk di pelaminan.
Yang dimaksud Timpah Bawah dan Timpah Atas, menurut Eter, adalah pembayaran untuk mengambarkan kedekatan kedua keluarga pengantin, jika makin dekat hubungannya maka semakin sedikit pembayaran timpang ini.
Selain itu, menurut dia, ada juga tatacara perkawinan untuk poligami (Bamadu).
Perkawinan bamadu menurut tatacara adat, dilakukan dengan cara pihak istri tua meminang kepada pihak calon istri muda.
"Ada juga cara perceraian (sarak) yang dimulai dari gugatan istri atau suami kepada kepala adat meminta adanya perceraian. Tiap tahapan perceraian ataupun rujuk selalu ada ketentuan adat yang harus dipenuhi," pungkasnya.
Pelkes Dacil Tak Kenal Batas Teretorial
Selain tantangan medan ditambah beban dipundak yang harus dipikul sepanjang perjalanan ber jam-jam hingga sampai ketempat tujuan. Dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan Daerah Terpencil (Dacil), para tenaga medis yang tergabung dalam tim Dacil juga harus merasakan bagaimana pola hidup komunitas masyarakat Dayak Meratus yang sederhana dan dekat dengan alam. Mulai dari tempat tinggal, makanan hingga kebiasaan sehari-hari pun menyatu padu antara masyarakat setempat dengan para petugas Dacil.
Menurut salah satu petugas Dacil wilayah Puskesmas Uren, Yusli menceritakan, jika saat pelaksanaan pelayanan Dacil ini pihak seakan menyatu dengan pola hidup masyarakat setempat.
Pola hidup yang dimaksud, Yusli mencontohkan, seperti Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) harus di sungai dan tinggal dilingkungan dipemukiman yang berada ditengah hutan tanpa listrik dan signal telekomunikasi.
"Saat ikut pelayan Dacil ini, kami benar-benar bisa merasakan bagaimana rasanya hidup didaerah terpencil yang jauh dari hiruk pikuk pembangunan," bebernya.
Karena saat melakukan pelayanan Dacil ini, lanjut salah satu petugas kesehatan di Puskesman Uren ini, pihaknya tidak ada beda dengan masyarakat yang datang kecuali pakaian yang dipakai di badan.
"Kita tidur di Balai Adat atau Rumah Warga dan makan bersama-sama warga. Bahkan kadang-kadang makan apa yang disajikan masyarakat sehingga kita tidak ada batasan antara kita dengan masyarakat," bebernya.
Selain itu, ada hal lainnya yang menarik dari program kesehatan yang telah lama dijalankan oleh Pemkab Balangan ini yakni, tidak mengenal batasan admistrasi kependudukan.
Lantaran saat dilaksanakan Pelkes Dacil ini warga masyarakat dari kabupaten Bumi Sanggam bahkan luar dari Provinsi Kalsel turut serta ikut menikmati layanan dasar kesehatan ini.
Menurut kepala Puskesmas Urena Rudi Kresna, dusun yang jadi sasaran program Pelkes Dacil ini ada yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kota Baru dan Kecamayan Kerang Dayo Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
Karena berbatasan langsung inilah, lanjut dia, tidak jarang saat pelaksanaan pelayanan Dacil ini banyak warga dari kedua daerah diluar Balangan tersebut turut serta dalam pelayanan yang diberikan secara gratis ini.
Menurut Rudi, diantara warga luar yang biasanya ikut pelayanan Dacil ini seperti dari desa Andeh dan Muara Samang yang merupakan wilayah Kecamatan Kerang Dayo Kabupaten Paser dan desa Pemukaan Barat dan Pemukaan Luar wilyah Sangayam Kabupaten Kotabaru.
"Jika melihat dilapangan program Dacil ini tidak mengenal batas teroterial apalagi status kependudukan yang berdasarkan administrasi pemerintahan," bebernya.
Jadi menurut Rudi, siapun yang datang saat Pelkes Dacil dilaksanakan datang maka akan dilayani tanpa harus terlebih dahulu ditanyai status kependudukannya masuk wilayah mana.
Hal ini, menurut dia, tidak terlepas dari sistem pemukiman komunitas masyarakat dayak meratus yang menyebar dan lebih mengutamakan batas lingkup lingkungan kelompok masyarakatnya berdasarkan batas alam. Sehingga biar berbeda wilayah administrasi tapi masih dianggap satu kelompok atau dusun oleh mereka.
"Kami datang untuk melayani tanpa harus memilah berdasarkan status administrasi. Jadi setiap warga yang datang pasti kita layani secara sama tanpa ada pembedaan," tuturnya.
Petugas Perempuan Sampai Pingsan
Medan berat dan berhadapan dengan culture shock mungkin masih diangap biasa bagi fisik seorang pria dengan pergaulan sosial yang luas. Tapi bagi petugas perempuan yang ikut Pelayanan Kesehatan Daerah Terpencil (Pelkes Dacil) merupakan tantangan yang terbilang luar biasa terlebih bagi mereka yang kurang dengan aktivitas diluar (outdoor).
Tantang berat inilah yang sangat dirasakan Gresia Mayang Sari, salah satu petugas kesehatan di Puskesmas Uren yang turut serta ikut dalam Pelkes Dacil yang dijalankan Pemkab Balangan.
Meuurut petugas farmasi di Puskes Uren ini, pengalaman menjelajah alam dengan mendaki gunung dan menyeberangi sungai pertama kalinya ditemui dirinya saat ikut pelayanan Dacil ini.
"Pengalaman harus berjalan di hutan saat malam hari, hidup tanpa signal dan listrik saya dapat saat Dacil ini," ujar lulusan Akper Intan Martapura Tahun 2014 ini.
Selain melawan rasa cape diperjalan, lanjut wanita yang baru bergabung di Puskesmas Uren April ini, dirinya juga harus melakukan pola hidup berbeda dari biasanya seperti tidur tanpa kelambu, mandi disungai hingga hidup tanpa teknologi internet.
"Kita terkuras secara fisik dan berubah secara perilaku saat ikut Dacil. Tapi ini semua akan terbayar lunas ketika masyarakat yang kita layani memberikan senyuman tulus dan ucapan terima kasih,"ungkapnya.
Tak jauh berbeda, pengalaman unik juga dirasakan petugas kesehatan wanita lainnya, Listienoor yang ikut dalam program Pelkes Dacil tersebut.
Menurut petugas gizi ini, pertama kalinya ikut Dacil dirinya sempat pingsan ditengah perjalanan saat menuju salah satu tempat pelaksanaan Dacil.
"Karena kurang persiapan dan banyak barang bawaan serta pertama kalinya, saya sempat pingsan karena kelelehan," ujar Alumnus Poltekkes Banjarmasin 2013 ini.
Meski pertama kali ikut sempat pingsan dijalan, tapi menurut Pegawai Tidak Tetap (PTT) gizi desa diwilayah kerja Puskesmas Uren ini, tidak membuatnya kapok, bahkan sebaliknya tiap ada kesempatan ikut Dacil, dirinya pasti ikut andil.
"Dacil inikan saya angap sebagai bentuk pelayanan sesungguhnya, karena kita membutuhkan perjuangan yang cukup keras untuk bisa melayani masyarakat," bebernya.
Selain kepuasan bisa melayani masyarakat yang betul-betul membutuhkan, lanjut dara asli Balangan ini, lewat Dacil dirinya juga bisa mengenal betapa harmonisnya kehidupan komunitas masyarakay Dayak Meratus dengan alamnya.
"Bagi kita yang lahir di tengah teknologi canggih, akses internet was wus. Hobi selfie dan enggan aktivitas outdoor, sehingga lupa tentang kepedulian tidak salahnya ikut melihat Pelkes Dacil ini sebagai wahana pembelajaran, jika kehidupan sosial sebenarnya ada ditengah pemukiman didaerah terpencil," tutupnya.
Medan berat dan berhadapan dengan culture shock mungkin masih diangap biasa bagi fisik seorang pria dengan pergaulan sosial yang luas. Tapi bagi petugas perempuan yang ikut Pelayanan Kesehatan Daerah Terpencil (Pelkes Dacil) merupakan tantangan yang terbilang luar biasa terlebih bagi mereka yang kurang dengan aktivitas diluar (outdoor).
Tantang berat inilah yang sangat dirasakan Gresia Mayang Sari, salah satu petugas kesehatan di Puskesmas Uren yang turut serta ikut dalam Pelkes Dacil yang dijalankan Pemkab Balangan.
Meuurut petugas farmasi di Puskes Uren ini, pengalaman menjelajah alam dengan mendaki gunung dan menyeberangi sungai pertama kalinya ditemui dirinya saat ikut pelayanan Dacil ini.
"Pengalaman harus berjalan di hutan saat malam hari, hidup tanpa signal dan listrik saya dapat saat Dacil ini," ujar lulusan Akper Intan Martapura Tahun 2014 ini.
Selain melawan rasa cape diperjalan, lanjut wanita yang baru bergabung di Puskesmas Uren April ini, dirinya juga harus melakukan pola hidup berbeda dari biasanya seperti tidur tanpa kelambu, mandi disungai hingga hidup tanpa teknologi internet.
"Kita terkuras secara fisik dan berubah secara perilaku saat ikut Dacil. Tapi ini semua akan terbayar lunas ketika masyarakat yang kita layani memberikan senyuman tulus dan ucapan terima kasih,"ungkapnya.
Tak jauh berbeda, pengalaman unik juga dirasakan petugas kesehatan wanita lainnya, Listienoor yang ikut dalam program Pelkes Dacil tersebut.
Menurut petugas gizi ini, pertama kalinya ikut Dacil dirinya sempat pingsan ditengah perjalanan saat menuju salah satu tempat pelaksanaan Dacil.
"Karena kurang persiapan dan banyak barang bawaan serta pertama kalinya, saya sempat pingsan karena kelelehan," ujar Alumnus Poltekkes Banjarmasin 2013 ini.
Meski pertama kali ikut sempat pingsan dijalan, tapi menurut Pegawai Tidak Tetap (PTT) gizi desa diwilayah kerja Puskesmas Uren ini, tidak membuatnya kapok, bahkan sebaliknya tiap ada kesempatan ikut Dacil, dirinya pasti ikut andil.
"Dacil inikan saya angap sebagai bentuk pelayanan sesungguhnya, karena kita membutuhkan perjuangan yang cukup keras untuk bisa melayani masyarakat," bebernya.
Selain kepuasan bisa melayani masyarakat yang betul-betul membutuhkan, lanjut dara asli Balangan ini, lewat Dacil dirinya juga bisa mengenal betapa harmonisnya kehidupan komunitas masyarakay Dayak Meratus dengan alamnya.
"Bagi kita yang lahir di tengah teknologi canggih, akses internet was wus. Hobi selfie dan enggan aktivitas outdoor, sehingga lupa tentang kepedulian tidak salahnya ikut melihat Pelkes Dacil ini sebagai wahana pembelajaran, jika kehidupan sosial sebenarnya ada ditengah pemukiman didaerah terpencil," tutupnya.
Dacil Lebih Mirip Jelajah Alam atau Naik Gunung
Pelayanan kesehatan Daerah Terpencil (Dacil) yang dijalankan jajaran petugas medis dibawah Dinkes Balangan dalam prakteknya memerlukan pengorbanan fisik secara ektra dan rasa pengabdian tanpa kenal batas.
Pasalnya untuk mencapai tempat pelaksanaan program pelayanan kesehatan khusus daerah pedalaman ini harus melewati medan sulit berupa bebatuan curam, mendaki gunung dan menyebarangi beberapa kali sungai.
Selain itu, para petugas juga harus siap mengangkut peralatan pemeriksaan kesehatan serta obat-obat.
Menurut kepala Puskesmas Uren Rudi Kresna, program pelayanan kesehatan Dacil untuk wilayah dibawah Puskesmas Uren ada dusun Ambata, Ambatunin, Tanjungan Jalamu, Libaru Sungkai dan Andamai.
Dibeberapa dusun ini, menurut dia, ada yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kota Baru dan Kecamayan Kerang Dayo Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
Karena akses jauh dan sulit inilah, lanjut dia, tiap kali pelayanan Dacil pihaknya selalu menginap minimal satu malam.
Dalam pelaksanaan program Dacil ini sendiri, menurut pria penyuka homor ini, pihaknya berangkat dalam bentuk rombongan yang jumlah mencapai 20 orang sekali berangkat.
Rombongan atau Tim Dacil selain harus mengangkut keperluan pelayanan kesehatan, menurut Rudi, rombongan juga harus membawa keperluan pribadi masing-masing baik pakaian dan mandi hingga keperluan makan.
"Kalau berangkat pelayanan Dacil kami seperti mau berangkat mendaki gunung atau menjelajah alam, saking banyaknya bawaan yang diangkut," ungkapnya.
Medan yang dilalui pun, menurut dia, sangat beragam mulai tebing berbatu curam, mendaki gunung dengan kemiringan yang tinggi hingga menyeberangi sungai.
Dibeberapa dusun, menurut Rudi, pihaknya harus menyeberangi sungai agar sampai ketempat tujuan guna melaksanakan program Dacil ini.
"Ke dusun Tanjung Jalamu salah satu paling berat, selain harus ditempuh dengan berjalan kaki dari akses terakhir mobil selama 5 jam. Kita juga harus menyeberang sungai sebanyak 6 kali dan kalau sungai lagi dalam, terpaksa pakai rakit bambu," jelasnya.
Selain harus melalui medan berat ada tantangan lainnya yang harus dilalui tim Dacil yakni, menyesuaikan hidup dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat.
"Selain tantangan medan yang berat, kita juga harus bisa menempatkan diri sesuai kultur budaya masyarakat setempat sehingga kita dapat diterima dengan baik," jelasnya.
Untuk pelaksanaan Dacil sendiri, lanjut dia, dilakukan tiap tiga bulan sekali dengan mencakup semua pelayanan dasar kesehatan.
Diantara pelayanan yang dijalankan, urai Rudi diantaranya, pemeriksaan kesehatan, imunisasi bayi, balita, pemeriksaan ibu hamil dan pelayanan KB serta penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi dan pembinaan kesehatan anak sekolah.
"Pelayanan Dacil ini mencakup semua pelayanan dasar dan program kesehatan dalam sekali waktu," jelasnya.
Jika ada warga yang perlu tindakan medis lanjutan maka, menurut dia, warga bersangkutan disarankan melakukan pengobatan secara rujukan ke Puskesmas atau pun rumah sakit guna mendapatkan pengobatan secara intensif.
Puskesmas Keliling Jadi Dacil
Karena bentang wilayah luas serta geografi daerah beragam serta adanya kebudayaan komunitas masyarakat dayak meratus yang identik dengan alam, sehingga daerah pemukiman masyarakat Balangan tersebasar hingga kepelosok daerah pinggiran hingga mencapai kawasan hutan meratus.
Dengan seberan pemukiman yang luas ini, pemerintah setempat harus merupaya maksimal agar pelayan publik kemasyarakat bisa terlaksana secara menyeluruh dan merata.
Untuk mencapai itu, khusus di Bidang Kesehatan pemerintahan daerah berjulung Bumi Sanggam ini, melaksanakan program khusus yang diberi nama pelayanan kesehatan daerah terpencil (Dacil).
Menurut Plt kepala Dinkes Balangan Ahmad Nasa'I, program kesehatan Dacil ini merupakan jawaban dari kondisi Balangan yang memiliki anak desa yang sangat terpencil dan perlu mendapatkan pelayanan secara khusus karena tidak terlayani oleh Puskesmas, Pustu maupun Poskesdes yang ada.
Sampai saat ini, kata Nasa'I, ada sembilan anak desa (dusun) yang dijadikan tempat pelaksanaan program khusus Dacil yang terbagi dalam dua wilayah yakni, wilayah Puskesmas Uren Kecamatan Halong dan Puskesman Tebing Tinggi Kecamatan Tebing Tinggi.
"Untuk Puskesma Uren ada dusun Ambata, Ambatunin, Tanjungan Jalamu, Libaru Sungkai dan Andamai. Untuk Puskesmas Tebing Tinggi Ajung, Dayak Pitap, Kambiyain dan Nanai," jelasnya.
Dari 9 buah dusun yang menjadi tempat program Dacil ini, menurut dia, semuanya harus ditempuh dengan cara berjalan kaki dengan waktu antara 2 sampai 5 jam.
Selain medan khas pegunungan meratus untuk mencapai dusun ini para petugas kesahatan yang tergabung dalam tim Dacil dibeberapa tempat juga harus menyeberangi sungai dan bermalam di dusun tersebut.
"Selain berjalan berjam-jam naik turun gunung dan menyeberangi sungai, kita juga harus menginap karena pelayanan kesehatan kita laksanakan malam hari," bebernya.
Program Dacil ini sendiri, menurut pria berkaca mata ini, merupakan rekernasi dari program Puskesmas keliling, namun sejak tahun 2012 lalu baru timbul istilah Dacil ini. Namun sebenarnya, ini merupakan konsep Puskesmas keliling yang telah lama dilaksanakan.
Lebih lanjut dikatakannya, program dacil dilaksanakan oleh dinkes, puskesmas dan lintas sektor terutama kantor kecamatan sebagai pemilik wilayah. Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesahatan dasar seperti, pemeriksaan kesehatan, imunisasi bayi, balita, pemeriksaan ibu hamil dan pelayanan KB serta penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi dan pembinaan kesehatan anak sekolah.
"Program Dacil ini merupakan wujud dari implementasi UUD 45 pasal 28 ayat 1 yaitu kewajiban negara untuk memenuhi hak warganya dalam pelayanan kesehatan, kita berusaha memenuhi kewajiban ini," jelasnya.
Berbicara tentang Dayak Ma'anyan Warukin selain membahas aktivitas dayak ma'anyan dengan segala aktualitasnya, kita tidak bisa lepas dari nama seorang tokoh setempat yakni, Andreas Buje.
Pria kelahiran 25 Mei 1962 ini, menjadi satu dari sekian banyak tokoh dayak yang masuk buku dengan judul "101 tokoh dayak yang mengukir sejarah" yang ditulis oleh R.Masri Sareb Putra.
Menurut penulis, Andreas Bujes telah berupaya menghidupkan kembali seni budaya suku bangsanya dengan melakukan kreasikan seni tari, yang pada zaman dahulu hanya dipergelarkan pada upacara tertentu saja. Lalu dikemas menjadi komoditas yang siap dinikmati masyarakat sewaktu-waktu seperti halnya seni tari biasa.
Diantar keberhasilan Buje sebagai motor seni budaya dayak, antara lain dengan menyelengarakan "Aruh Adat Masyarakat Dayak Ma'anyan" hingga upacara membatur.
Menurut Adreas Buje sendiri, terpilih dirinya dalam buku "101 tokoh dayak yang mengukir sejarah" hanya kebetulan saja.
"Saya merasa tidak pantas disandingkan dengan tokoh besar dayak lainnya, karena apa yang telah saya lakukan hal biasa," ujar Adreas saat ditemui dikediamannya di desa Warukin.
Tapi untuk totalitas dirinya dikesenian dayak, Adreas tidak menampik jika dirinya betul-betul sepenuh hati menjalaninya.
Berkecimpung dikesian dayak, menurut pengakuannya, sudah dijalaninya sejak anak-anak dengan rajin belajar pada ayahnya.
"Saya merupakan satu diantara sedikit peserta pada Festival Tari Tradisional Tingkat Nasional, 1988. Dan untuk terus melestarikan budaya kesenian ini, tahun 2002 saya mendirikan Sanggar," bebernya.
Kedepan kata dia, dirinya akan terus berusaha terus memajukan dan melestarikan kebudayaan Dayak Ma'anyaan.
Mulai Hukum Adat Hingga Tolerensi Berjalan Baik di Warukin
Kehidupan masyarakat Dayak Ma'anyan Warukin berjalan selaras dan berdampingan dengan masyarkat banjar muslim yang sejak puluhan tahun lalu telah menjadi warga desa Warukin.
Keharmonisan antar etnis dayak dan banjar di Warukin, bukan hanya tergambar pada kehidupan tolerensi dalam beragama tapi juga dapat dilihat dari kegotong royongan dan pengunaan hukum adat dari dua suku berbeda yakni, Maanyan dan Banjar dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut salah satu tokoh banjar sekeligus Muslim di Warukin Idrus mengakui, jika selam ini kehidupan di Warukin berjalan selaras walaupun beragam suku dan agama ada di Warukin.
Bahkan kondisi ini, kata serjana hukum lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin ini, sudah berlangsung sejak tiga genarasi lalu hingga hari ini masih terjaga dengan baik.
"Jika ingin melihat tolerensi beragama dan kerukunan antar suku, silakan datang ke Warukin karena semua itu telah berlangsung disini," ungkapnya.
Bukan hanya masalah tolerensi kehidupan beragama, tapi menurut Idrus di Warukin inilah terciptanya kesepahaman dan kebersamaan begaimana berkehidupan ditengah keanekaragaman.
"Untuk urusan pelaksanaan adat dan kebudayaan saudara kami Dayak Ma'anyan misalnya, kami selalu terlibat dengan ikut membantu, baik berupa tenaga, pikiran maupun dana," ungkapnya.
Begitu pula sebaliknya, masyarakat dayak Ma'anyan juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial bagi kelompok Banjar Muslim di Warukin.
"Bahkan untuk penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat antar suku, juga diselesaikan dengan mengunakan ketentuan adat masing-masing yakni, dayak Ma'anyan dan Banjar," jelasnya.
Apalagi selama ini, lanjut dia, secara kelembagaan adat di Warukin bukan hanya terdiri dari masyakarat adat dayak ma'anyan tapi juga melibatkan kelompok banjar.
"Secara kehidupan sosial kita di Warukin menjadi satu. Misalnya ada aruh adat kita etnis banjar pasti turut serta ikut, tetapi untuk pelaksanaan ritual yang berkaitan dengan keyakinan kita tidak terlibat, hal sangat dipahami oleh saudara kita dayak ma'anyan sehingga kehidupan bermasyarakat berjalan dengan harmonis," ungkap.
Senada dengan itu, menurut tokoh dayak Ma'anyan Warukin Andreas Buje, apa yang ditunjukan masyarakat Warukin sangat menjungi namanya tolerensi dalam segenap sendi kehidupan.
"Kita di Warukin ini, bukan hanya disatukan oleh rasa tolerensi dan rasa persaudaraan, tetapi juga sudah ada ikatan darah yang terjadi antar masyarakat khususnya dalam hal perkawinan," ungkapnya.
Salah bukti kebersamaan dan kesatuan di Warukin, lanjut Adreas, ialah saat dilakukannya ritual Ipaket (Pagar Banua) ritual ini merupakan pengucapan syukur atas hasil bumi yang didapat dan permohonan perlindungan spiritual bagi masyarakat yang mendiami wilayah keadatan Dayak Maanyan Warukin dari segala marabahaya.
Dalam ritual adat Pagar Banua ini, lanjut dia, ada yang disebut “Tampadi Pisan” dimana semua kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari, terutama masuk hutan, menggali tanah, membabat/menebang pohon atau membunuh hewan sangat dilarang dilakukan.
"Pelaksanaan 'Tampadi Pisan' ini ditaati oleh seluruh masyarakat Warukin termasuk Banjar Muslim. Ini mendakan jika Warukin itu satu," tuturnya.
'Tampadi Pisan' dalam ritual Pagar Banua ini sama seperti pelaksanaan Nyepi di masyarakat Hindu Bali, dimana masyarakat dilarang beraktivitas diluar yang telah ditentukan. Pelanggaran paling berat adalah perbuatan yang mengeluarkan darah, seperti memotong hewan atau pembunuhan. Ada sanksi adat berlaku untuk semua pelanggaran tersebut. Semua masyarakat tidak terkecuali kelompok atau badan hukum/usaha yang berada di wilayah keadaatan Dayak Maanyan Warukin harus mematuhi aturan Tampadi Pisan ini.
Kehidupan masyarakat Dayak Ma'anyan Warukin berjalan selaras dan berdampingan dengan masyarkat banjar muslim yang sejak puluhan tahun lalu telah menjadi warga desa Warukin.
Keharmonisan antar etnis dayak dan banjar di Warukin, bukan hanya tergambar pada kehidupan tolerensi dalam beragama tapi juga dapat dilihat dari kegotong royongan dan pengunaan hukum adat dari dua suku berbeda yakni, Maanyan dan Banjar dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut salah satu tokoh banjar sekeligus Muslim di Warukin Idrus mengakui, jika selam ini kehidupan di Warukin berjalan selaras walaupun beragam suku dan agama ada di Warukin.
Bahkan kondisi ini, kata serjana hukum lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin ini, sudah berlangsung sejak tiga genarasi lalu hingga hari ini masih terjaga dengan baik.
"Jika ingin melihat tolerensi beragama dan kerukunan antar suku, silakan datang ke Warukin karena semua itu telah berlangsung disini," ungkapnya.
Bukan hanya masalah tolerensi kehidupan beragama, tapi menurut Idrus di Warukin inilah terciptanya kesepahaman dan kebersamaan begaimana berkehidupan ditengah keanekaragaman.
"Untuk urusan pelaksanaan adat dan kebudayaan saudara kami Dayak Ma'anyan misalnya, kami selalu terlibat dengan ikut membantu, baik berupa tenaga, pikiran maupun dana," ungkapnya.
Begitu pula sebaliknya, masyarakat dayak Ma'anyan juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial bagi kelompok Banjar Muslim di Warukin.
"Bahkan untuk penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat antar suku, juga diselesaikan dengan mengunakan ketentuan adat masing-masing yakni, dayak Ma'anyan dan Banjar," jelasnya.
Apalagi selama ini, lanjut dia, secara kelembagaan adat di Warukin bukan hanya terdiri dari masyakarat adat dayak ma'anyan tapi juga melibatkan kelompok banjar.
"Secara kehidupan sosial kita di Warukin menjadi satu. Misalnya ada aruh adat kita etnis banjar pasti turut serta ikut, tetapi untuk pelaksanaan ritual yang berkaitan dengan keyakinan kita tidak terlibat, hal sangat dipahami oleh saudara kita dayak ma'anyan sehingga kehidupan bermasyarakat berjalan dengan harmonis," ungkap.
Senada dengan itu, menurut tokoh dayak Ma'anyan Warukin Andreas Buje, apa yang ditunjukan masyarakat Warukin sangat menjungi namanya tolerensi dalam segenap sendi kehidupan.
"Kita di Warukin ini, bukan hanya disatukan oleh rasa tolerensi dan rasa persaudaraan, tetapi juga sudah ada ikatan darah yang terjadi antar masyarakat khususnya dalam hal perkawinan," ungkapnya.
Salah bukti kebersamaan dan kesatuan di Warukin, lanjut Adreas, ialah saat dilakukannya ritual Ipaket (Pagar Banua) ritual ini merupakan pengucapan syukur atas hasil bumi yang didapat dan permohonan perlindungan spiritual bagi masyarakat yang mendiami wilayah keadatan Dayak Maanyan Warukin dari segala marabahaya.
Dalam ritual adat Pagar Banua ini, lanjut dia, ada yang disebut “Tampadi Pisan” dimana semua kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari, terutama masuk hutan, menggali tanah, membabat/menebang pohon atau membunuh hewan sangat dilarang dilakukan.
"Pelaksanaan 'Tampadi Pisan' ini ditaati oleh seluruh masyarakat Warukin termasuk Banjar Muslim. Ini mendakan jika Warukin itu satu," tuturnya.
'Tampadi Pisan' dalam ritual Pagar Banua ini sama seperti pelaksanaan Nyepi di masyarakat Hindu Bali, dimana masyarakat dilarang beraktivitas diluar yang telah ditentukan. Pelanggaran paling berat adalah perbuatan yang mengeluarkan darah, seperti memotong hewan atau pembunuhan. Ada sanksi adat berlaku untuk semua pelanggaran tersebut. Semua masyarakat tidak terkecuali kelompok atau badan hukum/usaha yang berada di wilayah keadaatan Dayak Maanyan Warukin harus mematuhi aturan Tampadi Pisan ini.
Tagapit, Dayak Ma’anyan Warukin Tetap Ekses
“Setelah menemukan ‘tanah berjanji’ Werukin, Nawuraha pergi ke Paring Lahung menjemput keluarga dan tunangannya, kemudian bersama 40 kerabatnya, Nawuraha membuka hutan untuk ladang dan perkampungan’’ itulah sepanggal petikan cerita legenda tentang asal usul desa Warukin Kecamatan Tanta yang hingga kini menjadi satu-satunya tempat di Kabupaten Tabalong yang dihuni oleh komunitas subetnis suku Dayak Ma’anyan.
Nawuraha sendiri menurut cerita, merupakan anak seorang Demang di Paring Lahung wilayah Muara Tewe, Barito Utara Kalteng, berparas tampan, berperilaku santun dan sakti. Karena ketampanannya, Nawuraha menjadi incaran banyak gadis di kampung Paring Lahung.
Nawuraha berpacaran dengan dengan siapa saja yang dirinya sukai. Akibat prilakunya inilah dirinya sering kena denda adat (singger/Japin) hingga pada satu kejadian Nawuraha dijebak oleh para perempuan yang iri karena Nawuraha akan menikah, sehingga dirinya kena hukuman diasingkan dari kampung (Bangkat) yang kemudian mengantarkannya ke daerah Weruken yang kini menjadi tempat tinggal komunitas suku dayak Ma’anyan di Tabalong.
Bahkan hingga sekarang eksistensi Dayak Ma’anyan atau sering disebut Dayak Warukin ini masih terjaga dengan baik dimana hukum adat dan kebudayaan orang dayak Ma’anyan selalu menjadi pilihan utama dalam kehidupan sosial dan budaya mereka sehari-hari namun tanpa, harus menampikan keberadaan kemajuan teknologi dan informasi yang ada.
Menurut salah satu tokoh masyarakat dayak Ma’anyan Warukin Andreas Buje, meski pemukiman Dayak warukin terdapat dalam kewilayahan yang disekitarnya adalah pemukiman suku Banjar namun, eksistensi kehidupan masyarakat sesuai aturan dayak Ma’anyan terus berjalan berdampingan tanpa ada kendala.
“Kalau istilah saya, kami dayak Ma’anyan Warukin ini “Tagapit tapi tetap eksis,’’ ujar ketua Sanggar Batung Mira Putut ini.
Istilah ini menurut Andreas, tidak terlepas dari kondisi teritorial Warukin yang disekelilingnya merupakan wilayah yang dihuni komunitas Banjar muslim, sehingga Warukin menjadi satu-satunya desa di Tabalong yang dihuni oleh komunitas dayak Ma’anyan.
Bahkan karena tagapit inilah, lanjut Andreas, istilah nama Warukin ini timbul, padahal dulunya namanya ‘Weruken’ bukan ‘Warukin tapi karena logat Banjar sulit menyebut Weruken maka lama kelamaan menjadi Warukin.
Sedangkat menurut Kepala Adat Dayak Ma’anyan Warukin, Roedy Lucky mengungkapkan, Dayak Warukin merupakan bagian dari Ma’anyan Benua Lima atau bahasa dayak Ma’anyannya disebut Paju Lima, yang merupakan subetnis Ma’anyan yang terdapat di kecamatan Benua Lima Kabupaten Barito Timur Kalteng yang secara langsung berbatasan dengan Kabupaten Tabalong.
Karena bagian dari Ma’anyan Benua Lima, kata Roedy, upacara adat dan kebudayaan dayak Warukin sama persis dengan dayak Ma’anyan di Kalteng meskipun ada sebutannya yang berbeda.
Dirinya mencontohkan, rukun kematian Kaharingan pada Dayak Warukin disebut mambatur, istilah ini pada subetnis Maanyan Benua Lima pada umumnya disebut marabia.
Di Tabalong sendiri, ada empat wilayah keadatan Dayak yakni, wilayah keadatan Dayak Maanyan di desa Warukin, wilayah keadatan Dayak Deyah Kampung Sepuluh, meliputi sepuluh desa di kecamatan Upau, Haruai, dan Bintang Ara, wilayah keadatan Dayak Deyah Muara Uya dan Jaro dan wilayah keadatan Dayak Lawangan di desa Binjai kecamatan Muara UyaBerjalan Berdampingan Ma'anyan dan Banjar
Dalam perkembangannya, suku dayak Ma'anyan berdasarkan adat istiadatnya hanya terbagi menjadi 3 yaitu, Maanyan Paju Epat, Ma'anyan Kampung Sepuluh, dan Ma'anyan Benua Lima. Nah dayak Ma'anyan Warukin sendiri masuk di Ma'anyan Benua Lima yang berpusat di kecamatan Benua Lima Kabupaten Barito Timur (Bartim), Kalteng.
Karena inilah, meski Dayak Ma'anyan Warukin secara administrasi berada di Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong, namun secara kultur budaya adat termasuk keterkaitan dengan ritual adat (relegi) hampir semua berasal dari Kalteng.
Menurut Andreas Buje tokoh dayak Ma'anyan Warukin, saking dekatnya dengan Ma'anyan Benua Lima semua aktivitas keadatan selalu merujuk ke Kalteng yakni, Ma'anyan Benua Lima di Bartim.
Meski demikian, kata Andreas begitu tokoh Ma'anyan ini kenal, secara kelembagaan adat yang resmi Warukin masuk keadatan Tabalong yang membawahi 4 wilayah keadatan Dayak yang terdiri dari subetnis, Dayak Maanyan, Dayak Deyah Kampung Sepuluh dan Dayak Lawangan.
"Secara administrasi dan dewan adat kita masuk Tabalong, tapi urusan penegakan hukum adat maupun ritual adat kita di Warukin ikut kedemangan Benua Lima. Artinya kami ini Tabalong tapi Rasa Bartim atau Kalsel rasa Kalteng," ungkap Adreas sambil tertawa renyah.
Dayak Ma'anyan Warukin bukan hanya menjadi bukti terjadinya
akulturasi kewilayahan antara Kalsel dan Kalteng, tetapi juga merupakan bukti keselarasan antara hukum adat (kearifan lokal) yang bersifat terbatas ruang lingkupnya dengan hukum negara yang bersifat luas.
Keselarasan ini, menurut Adreas, ditandai dengan masih dipakainya ketentuan adat (hukum adat) dalam penyelesaikan berbagai permasalahan dimasyarakat.
"Kita selalu mengutamakan berbagai permasalahan yang terjadi sesuai hukum adat, jika sudah tidak bisa diselesaikan dengan adat baru kita bawa ke ranah hukum negara," bebernya.
Selama ini berjalan, lanjut pria kelahiran 25 Mei 1962 silam ini, hampir semua berjalan dengan mulus tanpa ada pertantangan di masyarakat.
"Penyelesaian dengan hukum adat bukan hanya berlaku bagi kami masyarakat Dayak Ma'anyan tapi juga bagi masyarakat Banjar Muslim yang tinggal di Warukin," jelasnya.
Gumbaan Identitas Petani Banjar
Jika alat pertanian tradisional Banua seperti Tajak dan Ranggaman bisa tergantikan dengan alat pertanian modern berupa mesin. Tidak dengan Gumbaan, alat pemisah padi ini hingga kini tidak tergantikan oleh alat mekasin pertanian modern hingga kini.
Gumbaan sendiri merupakan alat untuk memisahkan gabah padi antara padi yang berisi (bagus) dengan padi yang kosong dan sisa-sisa kotoran yang lain seperti potongan batang padi dan lain-lain.
Cara kerja Gumbaan cukup sederhana, yaitu mengandalkan tenaga angin yang dihasilkan dari baling-baling kipas yang berada didalam badan Gumbaan denga cara di putar mengunakan tangan. Dari hasil putaran kipas inilah dihasilkan angin yang meniup dan memisahkan antara padi bagus dengan tidak yang dimasukan dari atas bagian Gumbaan.
Khusus bagian bawah tempat keluarnya gabah, dibagi dua saluran satu untuk padi bagus dan satunya untuk padi tidak bagus. Selain itu, ada juga saluran pembuangan yang berada paling belakang badan Gumbaan yang berfungsi untuk membuag bagian tangkai padi kosong.
Menurut Aspi salah satu petani di Kecamatan Juai, Gumbaan ini sangat efektif untuk membersihkan dan membedakan kualitas gabah yang sudah selesai dipanen.
Menurut warga desa Baruh Panyambaran ini, pengunaan Gumbaan sendiri untuk memisahkan yang mana padi bersih, padi ringan atau hampa barat dan sampah berupa helaian batang padi yang sering disebut Gayang.
"Gumbaan akan memisahkan antara Banih, Hampa Barat dan Gayang secara otomatis," ujar ayah dua anak ini.
Meski pengunaan dilihat sederhana, tapi menurut pria yang sehari-hari ini menyadap karet, tidak semua orang bisa mengunakannya sebab, saat memutar baling-baling harus disertai dengan perasaan dan perhitungan agar angin yang dihasil pas untuk memisahkan antar padi bersih dengan yang tidak.
"Selain itu, untuk urusan memutar ini selalu dilakukan para lelaki dan biasnya kepala keluarga," ungkapnya.
Jika alat pertanian tradisional Banua seperti Tajak dan Ranggaman bisa tergantikan dengan alat pertanian modern berupa mesin. Tidak dengan Gumbaan, alat pemisah padi ini hingga kini tidak tergantikan oleh alat mekasin pertanian modern hingga kini.
Gumbaan sendiri merupakan alat untuk memisahkan gabah padi antara padi yang berisi (bagus) dengan padi yang kosong dan sisa-sisa kotoran yang lain seperti potongan batang padi dan lain-lain.
Cara kerja Gumbaan cukup sederhana, yaitu mengandalkan tenaga angin yang dihasilkan dari baling-baling kipas yang berada didalam badan Gumbaan denga cara di putar mengunakan tangan. Dari hasil putaran kipas inilah dihasilkan angin yang meniup dan memisahkan antara padi bagus dengan tidak yang dimasukan dari atas bagian Gumbaan.
Khusus bagian bawah tempat keluarnya gabah, dibagi dua saluran satu untuk padi bagus dan satunya untuk padi tidak bagus. Selain itu, ada juga saluran pembuangan yang berada paling belakang badan Gumbaan yang berfungsi untuk membuag bagian tangkai padi kosong.
Menurut Aspi salah satu petani di Kecamatan Juai, Gumbaan ini sangat efektif untuk membersihkan dan membedakan kualitas gabah yang sudah selesai dipanen.
Menurut warga desa Baruh Panyambaran ini, pengunaan Gumbaan sendiri untuk memisahkan yang mana padi bersih, padi ringan atau hampa barat dan sampah berupa helaian batang padi yang sering disebut Gayang.
"Gumbaan akan memisahkan antara Banih, Hampa Barat dan Gayang secara otomatis," ujar ayah dua anak ini.
Meski pengunaan dilihat sederhana, tapi menurut pria yang sehari-hari ini menyadap karet, tidak semua orang bisa mengunakannya sebab, saat memutar baling-baling harus disertai dengan perasaan dan perhitungan agar angin yang dihasil pas untuk memisahkan antar padi bersih dengan yang tidak.
"Selain itu, untuk urusan memutar ini selalu dilakukan para lelaki dan biasnya kepala keluarga," ungkapnya.
Ranggaman Alat Mangatam Urang Banua
Dalam proses memanen padi atau dalam istilah Banjar disebut Mangatam, para patani di Banua juga mengunakan alat khusus yakni, Ranggaman.
Ranggaman ini terbuat dari kayu seukuran telapak, pegangannya terbuat dari bambu kecil sebagai pengangan dan diujungnya ditaruh pisau kecil yang biasanya adalah pisau silet.
Ranggaman sendiri, didaerah lain Jawa khususnya sering disebut Ani-ani.
Pengunaan Ranggaman ini harus disertai latihan sebab tingkat kesulitannya saat digunakan cukup tinggi. Karena Ranggaman harus diapit di tangan kanan kemudian dipakai memotong satu per satu, tangkai demi tangkai dahan padi sedangkan tangan kiri membawa hasil padi yang sudah dipetik.
Menurut Siti Rahmah salah seorang petani di Kecamatan Paringin, pengunaan Ranggaman ini biasanya didominasi oleh para wanita, karena memang pengerjaan Mangatam identik dengan kaum hawa.
"Kalau Mangatam pasti kita para perempuan dan biasanya mengunakan Ranggaman," ujarnya ibu lima anak ini.
Penggunaan Ranggaman, lanjut warga Desa Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, tidak terlepas dari proses selanjutnya yakni, memisahakan butiran padi dari batang atau dikenal dengan istilah Bairik atau Barapai.
Bairik sendiri, menurut wanita paru baya ini, dilakukan dengan menginjak-nginjak helaian batang padi yang selesai di Katam.
"Kenapa pakai Ranggaman karena lebih mudah untuk Bairik sebab lebih pendek potongan helaian padinya. Bedanya jika mengunakan arit batang padi yang dipotong lebih panjang sehingga sulit untuk Diirik," bebernya.
Tapi karena sekarang banyak orang pakai mesin rontok, lanjut dia, pemakai Ranggaman untuk Mangatam pun tergantikan dengan arit karena lebih mudah dan cepat.
Tapi meski demikian, menurutnya, Ranggaman masih sering digunakan khususnya untuk Mangatam sisa-sisa padi yang tidak habis diambil mengunakan arit.
"Biasanya untuk Paung (benih) kita tetap mengunakan Ranggaman untuk mangatamnya. Karena selain bisa memilah tangkai padi yang matang dan bagus biasanya Paungnya lebih bagus daya tumbuhnya dibanding yang diarit lalu dimesin rontok," ungkapnya.
Dalam proses memanen padi atau dalam istilah Banjar disebut Mangatam, para patani di Banua juga mengunakan alat khusus yakni, Ranggaman.
Ranggaman ini terbuat dari kayu seukuran telapak, pegangannya terbuat dari bambu kecil sebagai pengangan dan diujungnya ditaruh pisau kecil yang biasanya adalah pisau silet.
Ranggaman sendiri, didaerah lain Jawa khususnya sering disebut Ani-ani.
Pengunaan Ranggaman ini harus disertai latihan sebab tingkat kesulitannya saat digunakan cukup tinggi. Karena Ranggaman harus diapit di tangan kanan kemudian dipakai memotong satu per satu, tangkai demi tangkai dahan padi sedangkan tangan kiri membawa hasil padi yang sudah dipetik.
Menurut Siti Rahmah salah seorang petani di Kecamatan Paringin, pengunaan Ranggaman ini biasanya didominasi oleh para wanita, karena memang pengerjaan Mangatam identik dengan kaum hawa.
"Kalau Mangatam pasti kita para perempuan dan biasanya mengunakan Ranggaman," ujarnya ibu lima anak ini.
Penggunaan Ranggaman, lanjut warga Desa Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, tidak terlepas dari proses selanjutnya yakni, memisahakan butiran padi dari batang atau dikenal dengan istilah Bairik atau Barapai.
Bairik sendiri, menurut wanita paru baya ini, dilakukan dengan menginjak-nginjak helaian batang padi yang selesai di Katam.
"Kenapa pakai Ranggaman karena lebih mudah untuk Bairik sebab lebih pendek potongan helaian padinya. Bedanya jika mengunakan arit batang padi yang dipotong lebih panjang sehingga sulit untuk Diirik," bebernya.
Tapi karena sekarang banyak orang pakai mesin rontok, lanjut dia, pemakai Ranggaman untuk Mangatam pun tergantikan dengan arit karena lebih mudah dan cepat.
Tapi meski demikian, menurutnya, Ranggaman masih sering digunakan khususnya untuk Mangatam sisa-sisa padi yang tidak habis diambil mengunakan arit.
"Biasanya untuk Paung (benih) kita tetap mengunakan Ranggaman untuk mangatamnya. Karena selain bisa memilah tangkai padi yang matang dan bagus biasanya Paungnya lebih bagus daya tumbuhnya dibanding yang diarit lalu dimesin rontok," ungkapnya.
Tatanjang Alat Menanam
Jika Tajak digunakan untuk membersihan lahan pertanian sebelum tanam, maka Tatanjang, Tatujah atau Tatajuk digunakan sebagai alat untuk menanam padi pada sistem pertanian tradisional orang Banua dilahan sawah tadah hujan.
Tatanjang ini biasanya terbuat dari kayu ulin (kayu besi) dan berbentuk hurup T yang digunakan untuk membuat lubang di tanah yang selanjutnya akan ditanami bibit padi.
Kalau dulu, bentuk Tatanjang ini bervasria khusunya pada bagian hulu yang menjadi pegangan. Bentuk (Ukiran) bagian ini pula yang menjadi dasar penamaan masing-masing Tatanjang, misalnya Tatanjuk Burung, Tatanjuk Wayang, Tatanjuk Purus “T”, Tatanjuk Ayam, dan sebagainya.
Menurut Ikhlas Budi Prayogo, yang termuat dalam bukunya Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat Banjarmasin Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan et.al., 1998/1999 menjelaskan, Tatanjuk Purus “T” adalah bagian dua kayu yang kemudian dipasangkan secara berpotongan hingga membentuk huruf “T”. Tatanjuk Bengkok terbuat dari batang kayu tunggal tanpa sambungan. Bagian pegangan pada hulu tatanjuk ini berbentuk melengkung hingga 45 derajat di bagian hulunya. Sedangkan Tatanjuk Pegangan Tempel merupakan bentuk gabungan antara batang berbentuk bundar yang lancip ujungnya dan bagian lain berupa kayu yang bercabang.
Adalagi namanya, Tatanjuk Cor Kuningan, ini tetap berbahan dasar kayu, akan tetapi ada bahan tambahan yang lain yaitu kuningan. Bahan kuningan digunakan untuk membuat hulu dan membalut bagian ujung tatanjuk. Tatanjuk Burung tatanjuk jenis purus “T” tapi tempat pegangan bagian atas tatanjuk tersebut dibentuk seperti burung yang sedang hinggap di atas dahan. Kalai Tatanjuk Ayam merupakan variasi bentuk yang lain dari tatanjuk. Pada bagian atas atau hulu tatanjuk terdapat pegangan yang berbentuk seperti ayam.
Menurut Hasnah salah satu petani mengatakan, Tatanjang ini digunakan untuk membuat lobang untuk menanam padi.
"Dari dulu kalau Balacak atau Batanam banih (menanam padi) di pahumaan pasti pakai Tatanjang," ungkap warga kecamatan Batumandi ini.
Pengunaan Tatanjang, lanjut ibu tiga anak ini, selain mempermudah penanaman padi juga membantu padi yang baru ditanam kuat berdiri saat setelah ditanam.
"Sudah kebiasa pakai Tatanjang, jadi kalau tidak memakai seakan ada yang kurang saat menanam banih," ujarnya.
Menurut pemerhati pertanian, Anton Ciptady mengatakan, dari sisi Agronomi penggunaan Tatanjang ini menimbulkan kekurangan. Salah satunya adalah tingkat kedalaman dan jarak lubang yang tidak seragam menyebabkan pertumbuhan tanaman padi tidak maksimal. Akibat jarak tidak seragam ini, menurut menurut lulusan Institut Pertanian Malang lulusan Tahun 2007 ini, penyerapan unsur hara dan pemanfaatan energi matahari untuk berfotosintesis menjadi tidak optimal.
"Penggunaan Tatanjang juga tidak efisien karena membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Beda hal jika kita menggunakan mesin Transplanter yang menurut hasil penelitian dapat menambah produktivitas tanam yang mengakibatkan produktivitas hasil juga meningkat," ujar salah satu pegawai di Pemkab Balangan tersebut.
Tapi menurutnya, secara lingkungan dan sosial pengunaan Tanjang ini mempunyai kelebihan yakni, mudah dibuat dan dipakai serta memiliki nilai seni.
"Pengunaan Tatanjang juga sebagai kearifan lokal yang mampu menambah nilai kebersamaan saat bertani," jelas Magister Agronomi Universitas Lambung Mangkurat ini.
Jika Tajak digunakan untuk membersihan lahan pertanian sebelum tanam, maka Tatanjang, Tatujah atau Tatajuk digunakan sebagai alat untuk menanam padi pada sistem pertanian tradisional orang Banua dilahan sawah tadah hujan.
Tatanjang ini biasanya terbuat dari kayu ulin (kayu besi) dan berbentuk hurup T yang digunakan untuk membuat lubang di tanah yang selanjutnya akan ditanami bibit padi.
Kalau dulu, bentuk Tatanjang ini bervasria khusunya pada bagian hulu yang menjadi pegangan. Bentuk (Ukiran) bagian ini pula yang menjadi dasar penamaan masing-masing Tatanjang, misalnya Tatanjuk Burung, Tatanjuk Wayang, Tatanjuk Purus “T”, Tatanjuk Ayam, dan sebagainya.
Menurut Ikhlas Budi Prayogo, yang termuat dalam bukunya Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat Banjarmasin Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan et.al., 1998/1999 menjelaskan, Tatanjuk Purus “T” adalah bagian dua kayu yang kemudian dipasangkan secara berpotongan hingga membentuk huruf “T”. Tatanjuk Bengkok terbuat dari batang kayu tunggal tanpa sambungan. Bagian pegangan pada hulu tatanjuk ini berbentuk melengkung hingga 45 derajat di bagian hulunya. Sedangkan Tatanjuk Pegangan Tempel merupakan bentuk gabungan antara batang berbentuk bundar yang lancip ujungnya dan bagian lain berupa kayu yang bercabang.
Adalagi namanya, Tatanjuk Cor Kuningan, ini tetap berbahan dasar kayu, akan tetapi ada bahan tambahan yang lain yaitu kuningan. Bahan kuningan digunakan untuk membuat hulu dan membalut bagian ujung tatanjuk. Tatanjuk Burung tatanjuk jenis purus “T” tapi tempat pegangan bagian atas tatanjuk tersebut dibentuk seperti burung yang sedang hinggap di atas dahan. Kalai Tatanjuk Ayam merupakan variasi bentuk yang lain dari tatanjuk. Pada bagian atas atau hulu tatanjuk terdapat pegangan yang berbentuk seperti ayam.
Menurut Hasnah salah satu petani mengatakan, Tatanjang ini digunakan untuk membuat lobang untuk menanam padi.
"Dari dulu kalau Balacak atau Batanam banih (menanam padi) di pahumaan pasti pakai Tatanjang," ungkap warga kecamatan Batumandi ini.
Pengunaan Tatanjang, lanjut ibu tiga anak ini, selain mempermudah penanaman padi juga membantu padi yang baru ditanam kuat berdiri saat setelah ditanam.
"Sudah kebiasa pakai Tatanjang, jadi kalau tidak memakai seakan ada yang kurang saat menanam banih," ujarnya.
Menurut pemerhati pertanian, Anton Ciptady mengatakan, dari sisi Agronomi penggunaan Tatanjang ini menimbulkan kekurangan. Salah satunya adalah tingkat kedalaman dan jarak lubang yang tidak seragam menyebabkan pertumbuhan tanaman padi tidak maksimal. Akibat jarak tidak seragam ini, menurut menurut lulusan Institut Pertanian Malang lulusan Tahun 2007 ini, penyerapan unsur hara dan pemanfaatan energi matahari untuk berfotosintesis menjadi tidak optimal.
"Penggunaan Tatanjang juga tidak efisien karena membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Beda hal jika kita menggunakan mesin Transplanter yang menurut hasil penelitian dapat menambah produktivitas tanam yang mengakibatkan produktivitas hasil juga meningkat," ujar salah satu pegawai di Pemkab Balangan tersebut.
Tapi menurutnya, secara lingkungan dan sosial pengunaan Tanjang ini mempunyai kelebihan yakni, mudah dibuat dan dipakai serta memiliki nilai seni.
"Pengunaan Tatanjang juga sebagai kearifan lokal yang mampu menambah nilai kebersamaan saat bertani," jelas Magister Agronomi Universitas Lambung Mangkurat ini.
Marinjah Mamuntal dan Mahambur
Dalam proses bertani (menanam padi) secara tradisional di Kalsel umumnya dan khususnya daerah hulu sungai pad lahan sawah yang masih mengandalkan air hujan (sawah tanah hujan red) atau ditengah masyarakat sering disebut Baruh, Pahumaan atau Padang ada Empat proses besar dimulai dari pengolahan lahan hingga pasca panen.
Untuk pengolahan lahan sebelum ditanami sendiri ada tiga proses yakni, Marincah yang biasanya mengunakan alat bernama Tajak, lalu Mamuntal dan terakhir Mahamburnya.
Menurut salah satu petani Aliasnyah, dalam pengolahan lahan di Pahumaan sebelum ditanami padi ada tiga hal yang biasanya dilakukan yakni, Marinjah, Mamuntal dan Mahambur.
Marincah kata warga Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, yakni membersihankan lahan mengunakan Tajak, kalau memuntal adalah rumput yang sudah habis dirincah di gulung besar-besar berbentuk bola separu dan setelah didiamkan beberapa hari baru disebar lagi.
Tajak ini, menurut dia, merupakan parang besar bergagang kayu berbentuk seperti huruf L. Saat mengunakannya harus berdiri karena Tajak digunakan dengan cara diayunkan menyamping badan seperti orang main golf.
Kenapa harus mengunakan Tajak, menurut ayah lima anak ini, Tajak paling pas digunakan membersihan lahan sawah karena selain mudah digunakan juga efekti sebab bisa memotong rumput sampai keakarnya serta efesien biaya karena hanya membutuhkan tenaga.
Tajak sendiri, menurut dia, ada beberapa jenis diantaranya, Tajak Bulan, Tajak Dayung dan Tajak Rumput.
"Disebut Tajak Bulan karena bentuk daun (mata tajam) tajaknya berbentuk seperti bulan sabit, Tajak Dayung bentuknya lurus lebih besar dari Tajak Bulan sedangkan Tajak Rumput ukurannya jauh lebih kecil dan biasanya digunakan oleh perempuan untuk membersihan rumput," bebernya.
Selain dirincah, lanjut dia, mamuntal bertujuan agar rumput lebih cepat busuk dan juga unntuk mengetahui jika ada rumput yang tertinggalk dibersihan saat dirincah.
"Kalau puntalan (gulungan rumput) sudah dianggap busuk tinggal kita hamburkan (seberkan) setelah itu, lahan sudah bisa ditanami padi," jelasnya.
Terlepas itu, menurut pemerhati pertanian Anton Ciptady mengungkapkan, pengunaan Tajak sebagai alat pengolahan tanah pada pertanian ada kelebihan dan kakurangannya jika dibandingkan pengunaan mesin seperti traktor.
Kelebihan pengunaan Tajak, menurut lulusan Institut Pertanian Malang lulusan Tahun 2007 ini, diantaranya ramah lingkungan, murah dan pertumbuhan gulma (rumput) lebih lambat karena Tajak ini memotong rumput hingga ke akar.
Sedangkan kekurangannya, lanjut dia, perlu waktu lebih lama dalam membersihan lahan serta tingkat kegemburan tanah kurang. Sedangkan pakai traktor, pengunaan waktu lebih cepat namun secara lingkungan kurang bagus karena selain menghasilkan asap jika bisa menumpahkan minyak dilahan pertanian jika tidak hati-hati atau traktornya rusak.
"Pengunaan Tajak juga menjamin tingkat kesesuai lahan secara terus-menerus lebih stabil beda dengan traktor jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu panjang akan mempengaruhi kepadatan tanah yang berdampak pada kesusai lahan kedepannya," jelas Magister Agronomi Universitas Lambung Mangkurat lulusan tahun 2016 ini.
Dalam proses bertani (menanam padi) secara tradisional di Kalsel umumnya dan khususnya daerah hulu sungai pad lahan sawah yang masih mengandalkan air hujan (sawah tanah hujan red) atau ditengah masyarakat sering disebut Baruh, Pahumaan atau Padang ada Empat proses besar dimulai dari pengolahan lahan hingga pasca panen.
Untuk pengolahan lahan sebelum ditanami sendiri ada tiga proses yakni, Marincah yang biasanya mengunakan alat bernama Tajak, lalu Mamuntal dan terakhir Mahamburnya.
Menurut salah satu petani Aliasnyah, dalam pengolahan lahan di Pahumaan sebelum ditanami padi ada tiga hal yang biasanya dilakukan yakni, Marinjah, Mamuntal dan Mahambur.
Marincah kata warga Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, yakni membersihankan lahan mengunakan Tajak, kalau memuntal adalah rumput yang sudah habis dirincah di gulung besar-besar berbentuk bola separu dan setelah didiamkan beberapa hari baru disebar lagi.
Tajak ini, menurut dia, merupakan parang besar bergagang kayu berbentuk seperti huruf L. Saat mengunakannya harus berdiri karena Tajak digunakan dengan cara diayunkan menyamping badan seperti orang main golf.
Kenapa harus mengunakan Tajak, menurut ayah lima anak ini, Tajak paling pas digunakan membersihan lahan sawah karena selain mudah digunakan juga efekti sebab bisa memotong rumput sampai keakarnya serta efesien biaya karena hanya membutuhkan tenaga.
Tajak sendiri, menurut dia, ada beberapa jenis diantaranya, Tajak Bulan, Tajak Dayung dan Tajak Rumput.
"Disebut Tajak Bulan karena bentuk daun (mata tajam) tajaknya berbentuk seperti bulan sabit, Tajak Dayung bentuknya lurus lebih besar dari Tajak Bulan sedangkan Tajak Rumput ukurannya jauh lebih kecil dan biasanya digunakan oleh perempuan untuk membersihan rumput," bebernya.
Selain dirincah, lanjut dia, mamuntal bertujuan agar rumput lebih cepat busuk dan juga unntuk mengetahui jika ada rumput yang tertinggalk dibersihan saat dirincah.
"Kalau puntalan (gulungan rumput) sudah dianggap busuk tinggal kita hamburkan (seberkan) setelah itu, lahan sudah bisa ditanami padi," jelasnya.
Terlepas itu, menurut pemerhati pertanian Anton Ciptady mengungkapkan, pengunaan Tajak sebagai alat pengolahan tanah pada pertanian ada kelebihan dan kakurangannya jika dibandingkan pengunaan mesin seperti traktor.
Kelebihan pengunaan Tajak, menurut lulusan Institut Pertanian Malang lulusan Tahun 2007 ini, diantaranya ramah lingkungan, murah dan pertumbuhan gulma (rumput) lebih lambat karena Tajak ini memotong rumput hingga ke akar.
Sedangkan kekurangannya, lanjut dia, perlu waktu lebih lama dalam membersihan lahan serta tingkat kegemburan tanah kurang. Sedangkan pakai traktor, pengunaan waktu lebih cepat namun secara lingkungan kurang bagus karena selain menghasilkan asap jika bisa menumpahkan minyak dilahan pertanian jika tidak hati-hati atau traktornya rusak.
"Pengunaan Tajak juga menjamin tingkat kesesuai lahan secara terus-menerus lebih stabil beda dengan traktor jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu panjang akan mempengaruhi kepadatan tanah yang berdampak pada kesusai lahan kedepannya," jelas Magister Agronomi Universitas Lambung Mangkurat lulusan tahun 2016 ini.
Balangan Pasok Kebutuhan Industri Rotan HSU
Balangan sejak dulu sudah dikenal salah satu daerah sentra penghasil rotan di Banua, bahkan menjadi pemasuk utama bagi industri kerajinan rotan di HSU.
Bahkan dulu ketika Balangan masih bagian dari HSU, ditiap kecamatan ada pengumpul besar rotan berbagai jenis untuk dikirim ke Amuntai, Banjarmasin dan Kalteng.
Menurut salah satu mantan pedagang pengumpul rotan, H Sanusi, dulu tahun 1990 hingga 2000an banyak sekali pengumpul rotan yang ada di Balangan.
Bahkan menurut, warga desa Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, hampir tiap desa ada pembeli rotan yang mengumpulkan rotan dari warga yang mencari rotan.
"Wah kita tidak bisa menghitung berapa rotanya yang dihasilkan, tapi tiap minggu itu puluhan truk penuh rotan selalu dikirim dari Balangan keluar daerah," bebernya.
Dulu rotan, lanjut pria paru baya ini, sangat rami dan menjanjikan dimana hampir tiap desa ada warga yang mencari rotan untuk dijual baik itu rotan jenis Paikait (rotan kecil), Walatung (rotan sedang) dan Manau (rotan ukuran besar).
"Tapi sejak tahuan 2005an bisnis rotan mulai berguguran karena para pembelinya tidak adalagi. Ini dampak dari pemerintah yang tidak memperbolehkan ekspor rotan mentah," bebernya.
Semula kata pria akrab disapa H Pasirah ini, dirinya bisa mengirim puluhan truk rotan tiap bulanny untuk dijual ke Banjarmasin dan Amuntai.
"Akibat ada aturan yang melarang ekspor bahan mentah ini jadi penyebab turunya permintaan rotan, sehingga rotan tidak laku. Padahal potensi rotan kita sangat menjanjikan jika dijadikan salah satu potensi ekonomi masyarakat," ungkapnya.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan H Misbah yang merupaka salah satu perajin rotan di Amuntai.
"Dulu selain membuat kerajinan rotan, saya juga mengirim rotan mentah secara langsung untuk dijual," ujar Desa Sungai Limas Kecamatan Haur Gading Kabupaten HSU ini.
Tapi sekarang, lanjut pria berusia 42 tahun ini, dirinya hanya bisa menjual rotan dalam bentuk jadi, baik itu bentuk mebel maupun benda kerajinan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
"Rotan yang saya pakaian kebanyak dari Kalteng dan Balangan selain itu tidak ada. Itupun jumlahnya terbatas sesuai dengan kemampuan produksi dan permintaan," ungkap ayah dua anak ini.
Lain seperti dulu, kata Misbah, dimana sebanyak apapun rotan yang ada pasti dibeli karena untuk menjual kembali kepedagang besar di Banjarmasin maupun di Surabaya sangat mudah dan harganya pun tinggi.
"Tapi sejak tidak boleh menjual rotan mentah, permintaan rotan juga turun drastis. Sejak itulah, industri rutan mulai redup dan mati,"jelasnya.
Balangan sejak dulu sudah dikenal salah satu daerah sentra penghasil rotan di Banua, bahkan menjadi pemasuk utama bagi industri kerajinan rotan di HSU.
Bahkan dulu ketika Balangan masih bagian dari HSU, ditiap kecamatan ada pengumpul besar rotan berbagai jenis untuk dikirim ke Amuntai, Banjarmasin dan Kalteng.
Menurut salah satu mantan pedagang pengumpul rotan, H Sanusi, dulu tahun 1990 hingga 2000an banyak sekali pengumpul rotan yang ada di Balangan.
Bahkan menurut, warga desa Sungai Katapi Kecamatan Paringin ini, hampir tiap desa ada pembeli rotan yang mengumpulkan rotan dari warga yang mencari rotan.
"Wah kita tidak bisa menghitung berapa rotanya yang dihasilkan, tapi tiap minggu itu puluhan truk penuh rotan selalu dikirim dari Balangan keluar daerah," bebernya.
Dulu rotan, lanjut pria paru baya ini, sangat rami dan menjanjikan dimana hampir tiap desa ada warga yang mencari rotan untuk dijual baik itu rotan jenis Paikait (rotan kecil), Walatung (rotan sedang) dan Manau (rotan ukuran besar).
"Tapi sejak tahuan 2005an bisnis rotan mulai berguguran karena para pembelinya tidak adalagi. Ini dampak dari pemerintah yang tidak memperbolehkan ekspor rotan mentah," bebernya.
Semula kata pria akrab disapa H Pasirah ini, dirinya bisa mengirim puluhan truk rotan tiap bulanny untuk dijual ke Banjarmasin dan Amuntai.
"Akibat ada aturan yang melarang ekspor bahan mentah ini jadi penyebab turunya permintaan rotan, sehingga rotan tidak laku. Padahal potensi rotan kita sangat menjanjikan jika dijadikan salah satu potensi ekonomi masyarakat," ungkapnya.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan H Misbah yang merupaka salah satu perajin rotan di Amuntai.
"Dulu selain membuat kerajinan rotan, saya juga mengirim rotan mentah secara langsung untuk dijual," ujar Desa Sungai Limas Kecamatan Haur Gading Kabupaten HSU ini.
Tapi sekarang, lanjut pria berusia 42 tahun ini, dirinya hanya bisa menjual rotan dalam bentuk jadi, baik itu bentuk mebel maupun benda kerajinan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
"Rotan yang saya pakaian kebanyak dari Kalteng dan Balangan selain itu tidak ada. Itupun jumlahnya terbatas sesuai dengan kemampuan produksi dan permintaan," ungkap ayah dua anak ini.
Lain seperti dulu, kata Misbah, dimana sebanyak apapun rotan yang ada pasti dibeli karena untuk menjual kembali kepedagang besar di Banjarmasin maupun di Surabaya sangat mudah dan harganya pun tinggi.
"Tapi sejak tidak boleh menjual rotan mentah, permintaan rotan juga turun drastis. Sejak itulah, industri rutan mulai redup dan mati,"jelasnya.
Rotan Balangan Dikirim Ke HSU dan Kalteng
Dari 3756 buah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Balangan tidak ada satupun usaha yang bergelut dengan rotan. Padahal potensi rotan di Balangan sangat besar, mengingat kawasan hutan masih sangat luas sebagai media tumbuh rotan.
Menurut Kepala Disperindagkop Kabupaten Balangan Rakhmadi Yusni, di Balangan tidak ada satupun UMKM maupun industry yang melakukan usahanya dalam bidang pengolahan rotan.
“Kalau dari hasil alam kita ada memiliki kerajinan dari purun, bamban dan bambu. Kalau rotan masih tidak ada,’’ ungkapnya.
Menurut dia, Disperindag Balangan bukan tidak mau atau berupaya untuk mendorong industri rotan di Balangan tapi lebih kepada yang lebih potensial dan kekhasan daerah.
"Rotan kan sudah menjadi kerajinan yang menjadi identitas daerah lain, makanya kita lebih memilih kerajinan bambu dan purun yang menjadi khas Balangan,"ungkapnya.
Terpisah, menurut salah pencari rotan Aspi mengungkapkan, jika selama ini hasil rotan Balangan dikirim ke kabupaten HSU dan Kalteng.
"Dari dulu kita mengirim hasil rotan kalau tidak ke Amuntai ya ke daerah Kalteng," ujar warga desa Mihu Kecamatan Juai ini.
Untuk jumlah produksi hasil rotan yang dikirim, menurut ayah satu anak ini, lumaya banyak bisa mencapai satu truk tiap minggunya.
"Saya bersama tiga teman lainnya saja, tiap minggu bisa menjual 3000 sampai 5000 batang rotan ke Amuntai. Belum lagi ditambah dari hasil pencarian daerah lain seperti di kecamatan Halong dan Tebing Tingga yang juga mencari rotan untuk dijual,"ungkapnya.
Untuk rotan di Balangan sendiri, lanjut pria tamatan SLTP ini, hanya rotan jenis Walatung dan Manau yang laku dijual, sedangkan untuk jenis paikat (rotan kecil) tidak laku karena tidak ada pembelinya.
"Kalau urusan rotannya kita masih melimpah ruah, tapi pembeli dan harganya yang kadang-kadang jauh dari harapan. Sehingga mencari rotan untuk dijual tidak selalu dilakukan, karena kadang-kadang tidak sepadan dengan capenya," tungkasnya.
Dari 3756 buah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Balangan tidak ada satupun usaha yang bergelut dengan rotan. Padahal potensi rotan di Balangan sangat besar, mengingat kawasan hutan masih sangat luas sebagai media tumbuh rotan.
Menurut Kepala Disperindagkop Kabupaten Balangan Rakhmadi Yusni, di Balangan tidak ada satupun UMKM maupun industry yang melakukan usahanya dalam bidang pengolahan rotan.
“Kalau dari hasil alam kita ada memiliki kerajinan dari purun, bamban dan bambu. Kalau rotan masih tidak ada,’’ ungkapnya.
Menurut dia, Disperindag Balangan bukan tidak mau atau berupaya untuk mendorong industri rotan di Balangan tapi lebih kepada yang lebih potensial dan kekhasan daerah.
"Rotan kan sudah menjadi kerajinan yang menjadi identitas daerah lain, makanya kita lebih memilih kerajinan bambu dan purun yang menjadi khas Balangan,"ungkapnya.
Terpisah, menurut salah pencari rotan Aspi mengungkapkan, jika selama ini hasil rotan Balangan dikirim ke kabupaten HSU dan Kalteng.
"Dari dulu kita mengirim hasil rotan kalau tidak ke Amuntai ya ke daerah Kalteng," ujar warga desa Mihu Kecamatan Juai ini.
Untuk jumlah produksi hasil rotan yang dikirim, menurut ayah satu anak ini, lumaya banyak bisa mencapai satu truk tiap minggunya.
"Saya bersama tiga teman lainnya saja, tiap minggu bisa menjual 3000 sampai 5000 batang rotan ke Amuntai. Belum lagi ditambah dari hasil pencarian daerah lain seperti di kecamatan Halong dan Tebing Tingga yang juga mencari rotan untuk dijual,"ungkapnya.
Untuk rotan di Balangan sendiri, lanjut pria tamatan SLTP ini, hanya rotan jenis Walatung dan Manau yang laku dijual, sedangkan untuk jenis paikat (rotan kecil) tidak laku karena tidak ada pembelinya.
"Kalau urusan rotannya kita masih melimpah ruah, tapi pembeli dan harganya yang kadang-kadang jauh dari harapan. Sehingga mencari rotan untuk dijual tidak selalu dilakukan, karena kadang-kadang tidak sepadan dengan capenya," tungkasnya.
Rotan Balangan Belum Tersentuh Kebijakan
Balangan dengan luasan hutan seluas 83.75689 hektar yang terbagi dua fungsi yakni fungsi produksi seluas 24.248,6 dan fungsi lindung seluas 59.508,3 mempunyai potensi hasil hutan yang sangat beragam.
Salah satunya adalah rotan, tapi sayang salah satu kekayaan sumber daya alam Balangan ini belum tergali dengan maksimal, padahal potensi rotan Balangan cukup menjanjikan karena selain merupakan hasil kekayaan alam yang bisa terus diperbaharui, rotan juga bisa di budidayakan, sehingga keberadaanya harusnya terus diperjuangkan dan didorong pertumbuhannya.
Tapi apa lacur, jangankan mewujudkan masyarakat Kehutanan dan Perkebunan yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan lewat potensi rotan, sekedar pendataan produksi rotan di Balangan pun belum dilakukan.
"Kita belum pernah mendata produksi rotan di Balangan," ujar Patliansyah, Kabid penataan dan pelindungan hutan pada Dishutbun Balangan.
Tidak terdatanya produksi rotan ini, diakui Patliansyah, karena keterbatasan personel penataan dan pelindungan hutan sehingga pendataan tidak bisa dilakukan.
“Meski tidak terdata, tapi potensi rotan Balangan dapat dilihat dari luasan hutan Balangan yang didalamnya menyimpan rotan sebagai kekayaan hayati dan masih adanya warga Balangan yang mencari rotan untuk dijual,’’ bebernya.
Padahal potensi rotan ini, bisa dijadikan salah satu sektor unngulan Kebupaten Balangan untuk dijadikan sumber pendapatan daerah. Ini penting utnuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah dari sektor pertambangan, dimana sektor pertambangan masih menjadi penyumbang terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Balangan, bahkan struktur keuangan Pemkab Balangan sesuai isi Raperda APBD TA 2017, pendapatan daerah terbesar ada pada dana perimbang dari sektor pertambangan yakni, Rp755.874.560.589, dari total pendapatan sebesara Rp954.848.733.283. Sedangkan besaran PAD hanya Rp55.712.934.000 dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp143.261.238.694.
Menurut Wakil Ketua DPRD Balangan M Nor Iswan Pemda masih dinina bobokan sehingga selama ini pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya non pertambangan dan usaha dalam menggali sumberdaya penambah penghasilan daerah masih berjalan lambat.
"Sektor yang paling bisa diandalkan saat ini selain pertambangan adalah pertanian dan perkebunan. Untuk itu, harus ada program khusus terkait pencarian sumber pendapatan lain diluar sektor tambang,’’ungkapnya.
Selain pertanian dan perkebunan, kata Iswan, sektor kehutanan juga bisa dijadikan sumber pendapatan alternatif misalnya dengan meningkatkan produksi hasil hutan untuk peningkatan ekonomi masyarakat.
“Kita berharap kedepan sektor kehutan bisa digarap maksimal oleh pemerintah daerah, baik sebagai upaya peningkatan perekonomian masyarakat maupun sumber pendapatan pemerintah daerah.
Balangan dengan luasan hutan seluas 83.75689 hektar yang terbagi dua fungsi yakni fungsi produksi seluas 24.248,6 dan fungsi lindung seluas 59.508,3 mempunyai potensi hasil hutan yang sangat beragam.
Salah satunya adalah rotan, tapi sayang salah satu kekayaan sumber daya alam Balangan ini belum tergali dengan maksimal, padahal potensi rotan Balangan cukup menjanjikan karena selain merupakan hasil kekayaan alam yang bisa terus diperbaharui, rotan juga bisa di budidayakan, sehingga keberadaanya harusnya terus diperjuangkan dan didorong pertumbuhannya.
Tapi apa lacur, jangankan mewujudkan masyarakat Kehutanan dan Perkebunan yang maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan lewat potensi rotan, sekedar pendataan produksi rotan di Balangan pun belum dilakukan.
"Kita belum pernah mendata produksi rotan di Balangan," ujar Patliansyah, Kabid penataan dan pelindungan hutan pada Dishutbun Balangan.
Tidak terdatanya produksi rotan ini, diakui Patliansyah, karena keterbatasan personel penataan dan pelindungan hutan sehingga pendataan tidak bisa dilakukan.
“Meski tidak terdata, tapi potensi rotan Balangan dapat dilihat dari luasan hutan Balangan yang didalamnya menyimpan rotan sebagai kekayaan hayati dan masih adanya warga Balangan yang mencari rotan untuk dijual,’’ bebernya.
Padahal potensi rotan ini, bisa dijadikan salah satu sektor unngulan Kebupaten Balangan untuk dijadikan sumber pendapatan daerah. Ini penting utnuk mengurangi ketergantungan keuangan daerah dari sektor pertambangan, dimana sektor pertambangan masih menjadi penyumbang terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Balangan, bahkan struktur keuangan Pemkab Balangan sesuai isi Raperda APBD TA 2017, pendapatan daerah terbesar ada pada dana perimbang dari sektor pertambangan yakni, Rp755.874.560.589, dari total pendapatan sebesara Rp954.848.733.283. Sedangkan besaran PAD hanya Rp55.712.934.000 dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp143.261.238.694.
Menurut Wakil Ketua DPRD Balangan M Nor Iswan Pemda masih dinina bobokan sehingga selama ini pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya non pertambangan dan usaha dalam menggali sumberdaya penambah penghasilan daerah masih berjalan lambat.
"Sektor yang paling bisa diandalkan saat ini selain pertambangan adalah pertanian dan perkebunan. Untuk itu, harus ada program khusus terkait pencarian sumber pendapatan lain diluar sektor tambang,’’ungkapnya.
Selain pertanian dan perkebunan, kata Iswan, sektor kehutanan juga bisa dijadikan sumber pendapatan alternatif misalnya dengan meningkatkan produksi hasil hutan untuk peningkatan ekonomi masyarakat.
“Kita berharap kedepan sektor kehutan bisa digarap maksimal oleh pemerintah daerah, baik sebagai upaya peningkatan perekonomian masyarakat maupun sumber pendapatan pemerintah daerah.
Mamagat Untuk Bertahan Hidup
Mamagat itulah istilah yang dipakai warga Balangan untuk menyebut orang yang mencari rotan di hutan untuk dijual.
Rutinitas mamagat inilah yang telah digeluti Aspi (30 tahun) warga desa Mihu Kecamatan Juai sejak tahun 2003 silam hingga kini.
Menurut ayah satu anak ini, mencari rotan sudah menjadi mata pencarian baginya disamping bertani dan menyedap karet untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari.
Mencari rotan, kata Aspi, bukan hanya digeluti dirinya tetapi juga oleh warga lain, apalagi saat kondisi harga karet anjlok pasti banyak warga yang mencari rotan sebagai alternatif mata pencarian.
“Kalau dulu mencari rotan ini cukup disekitar sudah dapat banyak. Tapi sekarang, karena banyak hutan jadi perkebunan dan adanya tambang maka harus masuk hutan berjam-jam untuk mencari rotan," ujar Aspi saat ditemuai dikediamannya.
Minimal 4 hari dalam seminggu, kata Aspi, dia bersama tiga warga desanya menyusuri hutan guna mencari rotan untuk dijual.
untuk hasil mencari rotan, menurut dia, masih lumayan jika dibanding dari hasil menyadap karet, karena hasilnya lebih banyak apalagi kini saat harga karet masih murah.
Dalam sehari menurut pria tamatan SLTP ini, dirinya bisa mendapatkan 50 sampai 100 batang rotan jenis Walatung dengan harga jual Rp.1700 per batangnya.
"Lumayan lah kalo mencari Walatung ini saya bisa dapat uang 100 sampai 200 ribu perhari. Dibanding dengan menyadap karet lebih banyak mencari Walatung," ungkapnya.
Harga walatung saat ini, menurut Aspi, sudah sangat jauh turunnya dari dulu sebelum adanya larangan ekspor rotan keluar negeri.
Kalo tahun 2003an dulu, lanjut Aspi, harga rotan jenis walatung mencapai harga Rp. 3500 perbatangnya sedangkan Manau sampai Rp. 8000 perbatang.
Kalau sekarang, Walatung hanya seharga Rp.1700 dan Manau Rp. 3000 itupun harus diantar langsung kepengrajin rotan di Amuntai.
"Sekarang rotan banyak cuman pembeli dan harganya yang tidak menentu. Mudahan pemerintah bisa segera mencarikan solusi masalah ini, agar harga rotan bisa naik lagi dan kami masyarakat pun bisa mengais rejeki lewat hasil hutan berupa rotan," harapnya.
Mamagat itulah istilah yang dipakai warga Balangan untuk menyebut orang yang mencari rotan di hutan untuk dijual.
Rutinitas mamagat inilah yang telah digeluti Aspi (30 tahun) warga desa Mihu Kecamatan Juai sejak tahun 2003 silam hingga kini.
Menurut ayah satu anak ini, mencari rotan sudah menjadi mata pencarian baginya disamping bertani dan menyedap karet untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari.
Mencari rotan, kata Aspi, bukan hanya digeluti dirinya tetapi juga oleh warga lain, apalagi saat kondisi harga karet anjlok pasti banyak warga yang mencari rotan sebagai alternatif mata pencarian.
“Kalau dulu mencari rotan ini cukup disekitar sudah dapat banyak. Tapi sekarang, karena banyak hutan jadi perkebunan dan adanya tambang maka harus masuk hutan berjam-jam untuk mencari rotan," ujar Aspi saat ditemuai dikediamannya.
Minimal 4 hari dalam seminggu, kata Aspi, dia bersama tiga warga desanya menyusuri hutan guna mencari rotan untuk dijual.
untuk hasil mencari rotan, menurut dia, masih lumayan jika dibanding dari hasil menyadap karet, karena hasilnya lebih banyak apalagi kini saat harga karet masih murah.
Dalam sehari menurut pria tamatan SLTP ini, dirinya bisa mendapatkan 50 sampai 100 batang rotan jenis Walatung dengan harga jual Rp.1700 per batangnya.
"Lumayan lah kalo mencari Walatung ini saya bisa dapat uang 100 sampai 200 ribu perhari. Dibanding dengan menyadap karet lebih banyak mencari Walatung," ungkapnya.
Harga walatung saat ini, menurut Aspi, sudah sangat jauh turunnya dari dulu sebelum adanya larangan ekspor rotan keluar negeri.
Kalo tahun 2003an dulu, lanjut Aspi, harga rotan jenis walatung mencapai harga Rp. 3500 perbatangnya sedangkan Manau sampai Rp. 8000 perbatang.
Kalau sekarang, Walatung hanya seharga Rp.1700 dan Manau Rp. 3000 itupun harus diantar langsung kepengrajin rotan di Amuntai.
"Sekarang rotan banyak cuman pembeli dan harganya yang tidak menentu. Mudahan pemerintah bisa segera mencarikan solusi masalah ini, agar harga rotan bisa naik lagi dan kami masyarakat pun bisa mengais rejeki lewat hasil hutan berupa rotan," harapnya.
Kerajinan Kulit Kayu Potensi Ekonomi Kreatif Tersembunyi
Satu lagi potensi ekonomi kreatif yang dimiliki warga Dayak Meratus Balangan yang hingga kini belum tersentuh yakni, kerajinan dari kulit kayu.
Kerajinan khas dan unik dari kulit kayu ini berada di desa Liyu Kecamatan Halong, berbagai barang dihasilkan seperti tas dan topi dari lembaran kulit kayu Tarap Hundang (Terap) berkat tangan suku dayak Deah ini.
Salah satu pembuat kerajinan kulit kayu ini, Ali Ancin mengungkapkan, semua proses pembuatan kerajinan kulit kayu ini dilakukan secara tradisional, dimulai dari proses kulit kayu menjadi lembaran kulit hingga pada pembuatan kerajinan.
"Kerajinan ini dimulai dengan mengulah kulit kayu Tarap menjadi lemberan kulit yang halus dan tipis dengan cara dipungkul secara terus menerus," ucapnya saat Media Kalimantan bertandang di kediamannya.
Pengambil kulit kayu sendiri, menurut Ancin, ada hitungan waktu tertentu salah satunya, saat kondisi mengambil kulit kayu harus dalam ringan hati (senang/tanp ada masalah).
Selain itu, umur dan ukuran kayu Tarap yang diambil kulitnya juga menjadi hitungan tersendiri sebelum diambil.
"Hingga kini kerajinan ini baru sebatas untuk kebutuhan kami sendiri dan sekali dua untuk diberikan kepada orang lain sebagai cendra mata. Sedangkan, untuk dijual belum secara luas belum ada, karena untuk memasarkannya belum ada," paparnya.
Padahal, dengan memanfaatkan potensi lokal ini, tidaklah mustahil bila sebuah peluang usaha yang menjanjikan akhirnya bisa tercipta demi mendukung ekonomi masyarakat sekitar.
Bagasing
Permanian Gasing merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang bersifat tradisional yang sudah lama tengelam ini, oleh warga desa Sumsum Kecamatan Tebing Tinggi mulai kembali dimainkan.
Selain memainkankan tiap sore secara berkelompok, para warga Sumsum juga berencana akan mengelar kejuaran permainan Gasing ini secara luas.
"Kita para orang tua masih menyimpan Gasing yang dibuat dan dimainkan sekitar tahun 1970'an lalu. Sayang kalau, permainan lawas ini hilang," ujar salah satu warga Samsunur (50 tahun).
Menurut lelaki paru baya ini, dulu saat dia kecil, permainan Gasing ini hampir tiap hari dilakukan oleh anak-anak hingga orang dewasa.
Dulunya permainan ini, lanjut dia, dimainkan sata pada musim katam banih (panen padi) hampir diseluruh desa.
"Dulu permainan ini bukan hanya dimainkan antar anak disatu desa, tapi juga antar desa bahkan antar wilayah atau istilahnya Basasarangan," bebernya.
Ditambahkan warga lainnya, Aidi (46 tahun), bentuk Gasing ini bergai jenis, dimana kebanyakan bentuk ditamsilkan (Perumpaan) dengan bentuk benda seperti, Balanai (tempat padi), Tajau (tempat air) dan piringan (Piring).
"Gasing biasanya dibuat dari taras (inti kayu) pohon Kusi, karena struktur kayu yang a lot dan berat," bebernya.
Selain itu, lanjut dia, permainan Gasing ini dibagi dua yakni, paling lama berputar dan ada kuat.
Kalau adu kuat, kata Aidi, disebut dengan Bapantau (saling hantap) dan
Baturai (balalawasan).
"Permanian Gasing ini dimulai dengan ucapan kalimant Rai batuturaian balalu jadi sebagai aba-aba tanda bagi pemain melimparkan Gasingnya," pungkasnya
Subscribe to:
Posts (Atom)
Waspada Kematian Bayi Masyarakat khususnya para orang tua, dimintai mewaspadai pada bulan februari sampai April mendatang. ...
-
Tatanjang Alat Menanam Jika Tajak digunakan untuk membersihan lahan pertanian sebelum tanam, maka Tatanjang, Tatujah atau Tatajuk d...
-
Surat Wasiat dan Keris Abu Gagang,, Bismillaahirrahmaanirrahim . Surat Wasiat ini masih tersimpan baik, memiliki perjalanan sejara...
-
Marinjah Mamuntal dan Mahambur Dalam proses bertani (menanam padi) secara tradisional di Kalsel umumnya dan khususnya daerah hul...