HGU Lahan Pirsus II Paringin Take Over ke PT. Adaro
Lahan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero resmi di Take over ke PT Adaro Indonesia per 22 Mei 2014 lalu.
Pelepasan kepemilikan tersebut menimbulkan berbagai polemik di masyarakat sekitar. Terang saja, lahan HGU yang harusnya digunakan untuk perkebunan karet telah berpindahtangan ke perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara.
Masa lahan HGU untuk perkebunan karet bisa dialihtangankan ke tambang mineral? Kenapa bisa jadi sampai begitu? Ujar salah seorang warga sekitar dengan ekspresi kaget dan kecewa setelah mendengar kabar take over tersebut.
Tidak hanya itu, take over itu juga berdampak langsung pada nasib para buruh lepas yang menggantungkan nasib mereka dari penghasilan menyadap karet di eks Pirsus II Paringin itu. Pasalnya, pasca kepemilikan lahan secara resmi berpindah kepada PT Adaro Indonesia, segala aktivitas yang dilakukan di lahan tersebut langsung dihentikan termasuk penyadapan karet.
Sesuai informasi yang didapat dilapangan, ada 194 karyawan lepas yang mencari nafkah di eks perkebunan karet milik PTPN XIII yang berlokasi di dua desa tersebut, yaitu Desa Lok Batung dan Babayau Kecamatan Paringin.
Salah seorang pekerja lepas mengatakan, selain sangat menyayangkan pemindahtanganan lahan tersebut, dia juga sangat kecewa dengan pemberitahuan mendadak terkait penghentian aktivitas penyadapan karet di lahan itu. Padahal, penghasilan untuk menghidupi anak istri setiap harinya bergantung pada hasil menyadap karet di sana.
“Kita hanya menyayangkan kenapa pemberitahuan penghentian aktivitas ini sangat mendadak dan tidak ada sosialisasi sebelumnya, kalau begini kan mau dikasih makan apa anak dan istri. Belum lagi ke depannya, kalau perkebunan karet PTPN ini tidak ada lagi, mau kerja apa kami nanti,” keluhnya.
Dilain pihak, tokoh masyarakat Balangan Syahrani Aheng juga mengaku terkejut dengan adanya take over izin HGU dari PTPN XIII ke PT Adaro Indonesia itu.
Diakuinya, lahan HGU Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Paringin yang merupakan bagian dari PTPN XIII bukan hanya sekedar perkebunan namun lebih dari itu, keberadaan HGU Pirsus II Paringin memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Balangan.
“Seharusnya ada tinjauan lebih konfrehensip dan melibatkan masyarakat secara intensif mengenai pengalihan fungsi lahan ini,” sesal tokoh sentral pengagas berdirinya perkebunan Pirsus II di Balangan tersebut.
Syahrani Aheng juga menyayangkan sikap Pemerintah Daerah yang tidak memberikan respon lebih dalam menjaga kelangsungan keberadaan perkebunan Pirsus II Paringin, supaya tidak dialihfungsikan menjadi areal pertambangan.
“Perkebunan Pirsus II Paringin merupakan pundemental dalam perjalanan sejarah Balangan dalam segala aspek kehidupan, seharusnya perkebunan itu tidak dialih fungsi sektor pertambangan, yang tentunya asfek yang ditimbulkan jauh berbeda antara perkebunan dengan pertambangan baik secara ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan bagi masyarakat Balangan,” ketusnya.
Sedangkan saat dikonfirmasi, Manajer Kebun PTPN XIII (Persero) Kebun Tambarangan yang membawahi wilayah Pirsus II Paringin, Ir H Priyo Harjono kepada wartawan menguraikan, sejatinya pelepasan aset afdeling Paringin tersebut sudah melalui proses yang panjang, termasuk melalui kajian dan tahapan-tahapan mendalam. Walaupun pemberitahuan kepada pekerja terkesan mendadak kata dia, itu hanya untuk menghindari campur tangan dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Ditegaskannya, pemindahtanganan lahan HGU sama sekali tidak melanggar aturan, karena itu sudah sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 16 yang menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain, (2) Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli, Tukar Menukar, Penyertaan Modal, Hibah dan Pewarisan.
Dijelaskan Priyo, ada beberapa dasar pihaknya melakukan pelepasan atas aset afdeling Paringin tersebut, di antaranya pengembangan perluasan kebun sulit dilakukan mengingat areal di sekitarnya telah dikuasai oleh perusahaan Pertambangan.
Walaupun pengelolaan terhadap lahan HGU tersebut masih bisa dilakukan lanjutnya, terutama yang tidak overlap selama tiga tahun (pendapatan bruto). Namun, pilihan ini diperkirakan akan menghadapi tantangan dan rongrongan dari pihak yang berkepentingan di sekitar kebun, sehingga waktu serta biaya sosial yang harus dikeluarkan oleh PTPN XIII relatif besar.
Kemudian berdasarkan Appraisal dan Kajian PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), pengembangan perkebunan karet di Afdeling Paringin sulit dilakukan mengingat areal yang terbatas. Alternatif untuk pengembangan kelapa sawit pun secara finansial tidak layak untuk dilaksanakan.
“Sebagian besar areal HGU di Afdeling Paringin sudah ditanami karet oleh masyarakat sekitar, sehingga upaya untuk rehabilitasi dan pengembangan kebun akan menghadapi kendala dan permasalahan ganti rugi atas tanaman tersebut,” tuturnya.
Namun kata dia, permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya ialah, adanya tumpang tindih dengan ijin pertambangan PT Adaro Indonesia yang aktif melakukan kegiatan pertambangan.
Hal itu dipertegas opini BPKP yang menyatakan bahwa kandungan batubara di bawah tanah HGU seluas 2.071 Ha tersebut terdapat dua Izin Usaha Pertambangan, yaitu PKP2B PT Adaro Indonesia dan IUP yang diberikan Bupati Balangan kepada PT Putera Bara Mitra.
Sedangkan nasib para pekerja lepas, diakui Priyo, pihaknya akan memberikan kesempatan kepada pekerja lepas untuk bekerja dengan status yang sama di kebun Tambarangan Kabupaten Tapin.
“Pekerja lepas kita berikan kesempatan untuk bekerja di sana, jadi tergantung yang bersangkutan mau atau tidaknya, yang jelas kita sudah memberikan solusi,” ujarnya yang mengatakan bahwa pihaknya juga akan memberikan pesangon kepada pekerja lepas, sesuai dengan masa kerjanya yang dihitung sejak dihentikannya aktivitas menyadap sampai akhir bulan Mei ini.
Dewan : Pemerintah Jangan Tutup
Pemindahan kepemilikan lahan (Take Over) Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia per 22 Mei 2014 lalu, selain menimbulkan pertanyaan di masyarakat juga menjadi perhatian khusus Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Kabupaten Balangan.
Saat ditemui Ketua DPRD Balangan H Zainuddin yang didampingi wakil ketua DPRD H. M Yusuf A mengungkapkan, selain tidak adanya koordinasi dengan Dewan mengenai Take Over HGU Pirsus II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia juga dikwatirkan akan menimbulkan dampak sosial yang luas.
H. A Yusuf menambahkan, selama ini kalangan DPRD Kabupaten Balangan tidak pernah tahu maupun diberi tahu baik terkait akusisi lahan HGU seluas 2.071 hektare tersebut, baik dari pihak PTPN XIII sebagai pemegang izin sah maupun dari PT Adaro Indonesia sebagai pengelola lahan selanjutnya, bahkan dari Pemerintah kabupaten (Pemkab) Balangan sendiri selama ini, juga tidak ada sedikit pun pemberitahuan mengenai rencana ataupun pelaksanaan akusisi lahan HGU milik PTPN XIII tersebut.
“Kok tiba-tiba PTPN XII meng take over lahan HGU nya, lalu DPRD Balangan dianggap apa, pemerintah daerah juga harus segera bertindak secepat mungkin menyelesaiakn permasalahan ini, jangan sampai pemerintah tutup mata,” ujar politisi Golkar tersebut.
M Yusuf A mengakui, pihaknya akan membentuk tim untuk menyelesaikan permasalahan pengalihan lahan HGU seluas 2.071 hektare tersebut dari pihak PTPN XIII sebagai pemegang izin sah ke PT Adaro Indonesia.
“Permasalahan ini bisa kita limpahkan ke komisi II atau komisi lain yang terkait, dan tidak menutup kemungkinan kita akan bentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait permasalahan ini,” tegasnya.
Sedana dengan pernyataan itu, ketua komisi II Sumarso mengakui, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak terkait baik Pemkab Balangan maupun Dirjen kementerian terkait, guna penyelesaian permasalahan terkait tindakan PT Adaro Indonesia yang mengakuisisi secara resmi lahan HGU PTPN XIII (Persero) kebun Tambarangan Afdeling Paringin.
“Selain proses akusisi, kita juga akan pertanyakan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terkait kesepakatan take over tersebut,” tegas Sumarso.
Lebih jauh Sumarso mengatakan, pihaknya pasti akan melakukan tindakan lanjutan terkait permasalahan ini, namun waktunya belum kita tentukan, yang pasti secepatnya akan dilaksanakan.
Selain itu, Sumarso juga meminta semua pihak baik masyarakat, PTPN, dan PT Adaro untuk menahan diri, jangan ada saling provokasi. “Sebelum ada kejelasan mengenai masalah ini, kita ingin masyarakat tetap diperbolehkan bekerja di lahan HGU kebun Pirsus II Paringin tersebut,” pintanya.
Keluhan serupa juga ditunjukan Ketua LSM Hijau Rindang Lestari, H Hudari mengaku, bingung atas tindakan PTPN XIII sebagai BUMN melapas secara resmi lahan HGU nya kepada PT Adaro Indonesia.
“Izin HGU PTPN XIII merupakan izin perkebunan, yang seharusnya tidak boleh serta merta dialih fungsikan ke sektor pertambangan, harus ada kajian konfrehensif secara mendalam terkait alih fungsi tersebut baik secara lingkungan maupun sosial budaya disekitar lahan tersebut,” tegasnya.
Lebih jauh H Hudari membeberkan, seharusnya jika PT Adaro Indonesia akan menggunakan lahan HGU PTPN XIII tersebut maka harus ada kajian lingkungan terlebih dahulu yakni berupa, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dimana AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
“Sesuai izin AMDAL yang diberikan kepada PT Adaro Indonesia di Tahun 2012 lalu, terkait peningkatan produksi dari 45 juta ton/tahun menjadi 80 juta ton/tahun tidak ada perluasan lobang tambang yang ada hanya pendalam lobang tambang, artinya tindakan PT Adaro Indonesia yang mengakuisisi secara resmi lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII (Persero) bisa ditiadakan kerna tidak akan mengganggu jalannya peningkatan produksi yang dilakukan PT Adaro Indonesia,” bebernya.
Ditambahkan Hudari, seharusnya PTPN XIII (Persero) sebelum melepas lahan HGU nya harus menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan dengan masyarakat terkait status lahan mereka.
“Padahal sampai saat ini masih ada permasalahan lahan masyarakat dengan PTPN XIII, seharusnya PTPN menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada sebelum melakakukan take over ke PT Adaro Indonesia,” bebernya.
Dilain pihak, menurut Goverment and Media Relations (GMR) Departement Manager PT Adaro Indonesia, Hikmatul Amin saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, mengenai lahan PTPN Yang kini di ambil alih PT. Adaro Indonesia dengan lahan HGU seluas 2071 Hektar (Ha) bukan untuk di tambang, melainkan sebagai Areal pendukung pertambangan.
“Areal tersebut kita manfaatkan untuk areal pendukung seperti areal reklamasi atau penghijauan dan pengolahan limbah serta disposal (pembuangan tanah) dan lainnya, yang jelas bukan untuk ditambang.” katanya.
Diakuinya, untuk keterlibatan pemerintah daerah (Pemda) dalam proses take over dirinya kurang paham, tapi ditegaskannya, yang jelas PTPN PIRSUS II Paringin temasuk dalam BUMN dan kewenangan BUMN untuk melepas.
Amin menambahkan, kesepakatannya di Jakarta antara BUMN dan PT. Adaro Indonesia, melalui beberapa proses tahapan sesuai prosedur, karena perusahaan negara jadi di bawah BUMN.
“Sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 16 yang menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain, (2) Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli, Tukar Menukar, Penyertaan Modal, Hibah dan Pewarisan,” bebernya.
Pengambilalihan HGU PTPN XIII Oleh Adaro; Potret Ekonomi Rente Pertambangan.
Thursday, 05 June 2014 17:52
Siaran pers JATAM, 5 Juni 2014
Peralihan Hak Guna Usaha Perkebunan Inti Rakyat Khusus (HGU Pirsus) II afdeling Paringin, Kabupaten Balangan Kalsel, dari PTPN XIII ke PT Adaro Indonesia pada 22 Mei 2014 lalu, adalah salah satu potret nyata bagaimana praktek ekonomi rente telah menjadi bagian dari industri pertambangan. Seperti halnya di wilayah lain, tumpang tindih lahan HGU maupun Konsesi Pertambangan menjadi pemicu para pengusaha maupun pemberi ijin untuk melanggengkan model pembangunan yang berbasis rente. Tanpa peduli kawasan tersebut telah dimiliki ataupun diperuntukkan untuk sektor lain, cara apapun dilakukan untuk mendapatkan izin.
Peralihan HGU Pirsus tersebut menjadi wilayah pertambangan tentu bukan tanpa masalah. Tidak hanya bentang alam saja yang akan dirombak, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan karet juga mengalami nasib yang tidak menentu. Tidak hanya 236 karyawan dari Pirsus PTPN XIII saja yang kehilangan mata pencahariannya, masyarakat sekitar yang bergantung pada keberlangsungan kegiatan perkebunan tersebut juga terancam. Ancaman konflik dan gejolak sosial di masyarakat semakin terbuka lebar.
Walaupun PT Adaro Indonesia mengklaim lahan yang diambil alih tersebut untuk reklamasi, pembuangan limbah dan bahan disposal, namun tetap saja kegiatan tersebut adalah satu kesatuan dalam industri pertambangan. Argumentasi peralihan HGU Perkebunan menjadi Areal Pendukung Pertambangan (APP) tentu saja tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Semestinya lahan HGU hanya diperuntukkan bagi kegiatan perkebunan, pertanian dan/atau peternakan, sesuai dengan PP 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 16 tentang Peralihan HGU hanya sebatas mengatur mekanisme peralihan HGU tanpa mengubah peruntukan lahan tersebut. Artinya, peralihan HGU ke pihak lain tidak serta merta merubah peruntukan lahan HGU tersebut. Peruntukan lahan HGU yang dialihkan harus sesuai dengan perijinan awalnya.
Tumpang tindih lahan dan konsesi di berbagai wilayah yang selama ini “dipelihara dengan baik” oleh kepala daerah selaku pemberi ijin, membuka peluang besar terjadinya suap atau gratifikasi. Hingga saat ini pun masih belum jelas landasan hukum dan mekanisme perizinan apa yang digunakan PT Adaro Indonesia untuk mengambil alih dan merubah peruntukan HGU tersebut.
Perampasan ruang hidup masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kebun karet menjadi salah satu PR besar yang harus diselesaikan oleh Pemda. Pembiaran tumpang tindih yang berlarut-larut diindikasikan akan meningkatkan bargaining dari kepala daerah selaku pemberi ijin serta celah terjadinya suap dan gratifikasi.
Tidak seharusnya sektor pertambangan menjadi basis pembangunan ekonomi suatu daerah. Sektor pertambangan yang bersifat “Keruk Habis, Jual Cepat” berkontribusi besar pada semakin menurunnya kualitas hidup masyarakat di suatu daerah. Ditambah lagi dengan “ekonomi rente” yang melekat pada industri pertambangan, mengundang dan mempengaruhi kekuasaan untuk mengeruk keuntungan dengan sama sekali tidak berkontribusi pada peningkatan perekonomian dan kualitas hidup masyarakat.
Warga Mengadu Ke Dewan
Puluhan warga Desa Lamida Bawah Kecamatan Paringin mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Balangan untuk menemui wakil meraka, guna menyampaikan aspirasi terkait kejelasan nasib tanah milik mereka, pasca pengalihan pengusaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN XIII Avdeling Pirsus Paringin seluas 2071 Ha ke tangan PT. Adaro Indonesia.
Kedatangan masyarkat disambut dengan melaksanakan rapat dengar pendapat/hearing dialog dengan komisi II DPRD Kab. Balangan selain diterima ketua komisi II DPRD Kab. Balangan Sumarso beserta dua anggotannya rapat tersebut juga diikuti Akhmad Fauzi Asisten II Setda Kab. Balangan, Haryono Kepala dinas kehutanan dan perkebunan, dan Nugraha kepala BPN, beserta Mukhlis Ridhani Kasi SPP BPN dan Syamsurizal Staf BPN, rapat dilaksanakan di ruang rapat DPRD Kab. Balangan, Kamis (12/6/2014)
Perwakilan masyarakat H Jumhari mengatakan, meminta agar DPRD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat guna mendapatkan haknya atas tanah yang dimiliki secara turun temurun, namun hingga kini tanah tersebut diklaim masuk dalam kawasan HGU PTPN XIII yakni Pirsus II Paringin.
“Apalagi setelah take over yang dilakukan PTPN ke PT Adaro permasalahan yang timbul semakin rumit, dimana tanah yang kami miliki sebagian sudah digarap oleh PT Adaro. Padahal tanah tersebut milik masyarakat kami bukan milik PTPN, untuk itu kami meminta penyelesaian permasalahan tersebut,” pintanya.
Menanggapi permasahan tersebut, Ketua Komisi II DPRD Balangan Sumarso mengatakan, Dewan akan mengkomodir keinginan masyarakat guna penyelesaian permasalahan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pihaknya sebagia wakil rakyat berdasarkan peraturan yang berlaku.
“Kita secepatnya akan memanggil pihak PTPN XIII guna pempertemukan dengan masyarakat untuk penyelesaian permasalahan yang dialimi masyarakat tersebut,” tegasnya.
Masih menurut Sumarso, pihaknya selain memanggil pihak PTPN XIII juga berencana akan memanggil pihak lainnya yang terkait masalah ini.
Senada dengan Sumarso, anggota Komisi II yang hadir Nor Iswan mengatakan, menurut penilaian kami permasalahan yang ada terkonsentrasi menjadi dua yakni, permasalahan awal terbitnya izin HGU PTPN tahun 1986 dimana adanya hak masyarakat yang tidak dipenuhi dalam perjalanan penerbitan HGU tersebut, dan yang kedua adalah permasalah yang ditimbulkan kerna terjadinya Take Over lahan HGU menjadi kawasan pertambangan dimana selain proses take over sendiri secara dateil belum ada kejelasan yang diterima DPRD, permasalahan sosial akibat take over tersebutpun belum ada perencanaan penyelesaiannya.
“Kerna apabila lahan HGU tersebut berubah fungsi menjadi pertambangan, maka otomatis kehidupan sosial disekitar lahan HGU akan berubah, padahal disana ada mesjid, sekolah, dan sarana umum lainnya, permasalahan tersebut harus diselesaikan dulu sebelum adanya perubahan kawasan,” bebernya.
Untuk itu, diakui Nor Iswan pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab Balangan guna pembahasan permasalahan terkait take over PTPN ke PT Adaro Indonesia tersebut, salah satunya dengan cara meminta klarifikasi baik kepada PTPN maupun ke PT Adaro Indonesia.
Lahan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero resmi di Take over ke PT Adaro Indonesia per 22 Mei 2014 lalu.
Pelepasan kepemilikan tersebut menimbulkan berbagai polemik di masyarakat sekitar. Terang saja, lahan HGU yang harusnya digunakan untuk perkebunan karet telah berpindahtangan ke perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara.
Masa lahan HGU untuk perkebunan karet bisa dialihtangankan ke tambang mineral? Kenapa bisa jadi sampai begitu? Ujar salah seorang warga sekitar dengan ekspresi kaget dan kecewa setelah mendengar kabar take over tersebut.
Tidak hanya itu, take over itu juga berdampak langsung pada nasib para buruh lepas yang menggantungkan nasib mereka dari penghasilan menyadap karet di eks Pirsus II Paringin itu. Pasalnya, pasca kepemilikan lahan secara resmi berpindah kepada PT Adaro Indonesia, segala aktivitas yang dilakukan di lahan tersebut langsung dihentikan termasuk penyadapan karet.
Sesuai informasi yang didapat dilapangan, ada 194 karyawan lepas yang mencari nafkah di eks perkebunan karet milik PTPN XIII yang berlokasi di dua desa tersebut, yaitu Desa Lok Batung dan Babayau Kecamatan Paringin.
Salah seorang pekerja lepas mengatakan, selain sangat menyayangkan pemindahtanganan lahan tersebut, dia juga sangat kecewa dengan pemberitahuan mendadak terkait penghentian aktivitas penyadapan karet di lahan itu. Padahal, penghasilan untuk menghidupi anak istri setiap harinya bergantung pada hasil menyadap karet di sana.
“Kita hanya menyayangkan kenapa pemberitahuan penghentian aktivitas ini sangat mendadak dan tidak ada sosialisasi sebelumnya, kalau begini kan mau dikasih makan apa anak dan istri. Belum lagi ke depannya, kalau perkebunan karet PTPN ini tidak ada lagi, mau kerja apa kami nanti,” keluhnya.
Dilain pihak, tokoh masyarakat Balangan Syahrani Aheng juga mengaku terkejut dengan adanya take over izin HGU dari PTPN XIII ke PT Adaro Indonesia itu.
Diakuinya, lahan HGU Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Paringin yang merupakan bagian dari PTPN XIII bukan hanya sekedar perkebunan namun lebih dari itu, keberadaan HGU Pirsus II Paringin memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Balangan.
“Seharusnya ada tinjauan lebih konfrehensip dan melibatkan masyarakat secara intensif mengenai pengalihan fungsi lahan ini,” sesal tokoh sentral pengagas berdirinya perkebunan Pirsus II di Balangan tersebut.
Syahrani Aheng juga menyayangkan sikap Pemerintah Daerah yang tidak memberikan respon lebih dalam menjaga kelangsungan keberadaan perkebunan Pirsus II Paringin, supaya tidak dialihfungsikan menjadi areal pertambangan.
“Perkebunan Pirsus II Paringin merupakan pundemental dalam perjalanan sejarah Balangan dalam segala aspek kehidupan, seharusnya perkebunan itu tidak dialih fungsi sektor pertambangan, yang tentunya asfek yang ditimbulkan jauh berbeda antara perkebunan dengan pertambangan baik secara ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan bagi masyarakat Balangan,” ketusnya.
Sedangkan saat dikonfirmasi, Manajer Kebun PTPN XIII (Persero) Kebun Tambarangan yang membawahi wilayah Pirsus II Paringin, Ir H Priyo Harjono kepada wartawan menguraikan, sejatinya pelepasan aset afdeling Paringin tersebut sudah melalui proses yang panjang, termasuk melalui kajian dan tahapan-tahapan mendalam. Walaupun pemberitahuan kepada pekerja terkesan mendadak kata dia, itu hanya untuk menghindari campur tangan dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Ditegaskannya, pemindahtanganan lahan HGU sama sekali tidak melanggar aturan, karena itu sudah sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 16 yang menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain, (2) Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli, Tukar Menukar, Penyertaan Modal, Hibah dan Pewarisan.
Dijelaskan Priyo, ada beberapa dasar pihaknya melakukan pelepasan atas aset afdeling Paringin tersebut, di antaranya pengembangan perluasan kebun sulit dilakukan mengingat areal di sekitarnya telah dikuasai oleh perusahaan Pertambangan.
Walaupun pengelolaan terhadap lahan HGU tersebut masih bisa dilakukan lanjutnya, terutama yang tidak overlap selama tiga tahun (pendapatan bruto). Namun, pilihan ini diperkirakan akan menghadapi tantangan dan rongrongan dari pihak yang berkepentingan di sekitar kebun, sehingga waktu serta biaya sosial yang harus dikeluarkan oleh PTPN XIII relatif besar.
Kemudian berdasarkan Appraisal dan Kajian PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), pengembangan perkebunan karet di Afdeling Paringin sulit dilakukan mengingat areal yang terbatas. Alternatif untuk pengembangan kelapa sawit pun secara finansial tidak layak untuk dilaksanakan.
“Sebagian besar areal HGU di Afdeling Paringin sudah ditanami karet oleh masyarakat sekitar, sehingga upaya untuk rehabilitasi dan pengembangan kebun akan menghadapi kendala dan permasalahan ganti rugi atas tanaman tersebut,” tuturnya.
Namun kata dia, permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya ialah, adanya tumpang tindih dengan ijin pertambangan PT Adaro Indonesia yang aktif melakukan kegiatan pertambangan.
Hal itu dipertegas opini BPKP yang menyatakan bahwa kandungan batubara di bawah tanah HGU seluas 2.071 Ha tersebut terdapat dua Izin Usaha Pertambangan, yaitu PKP2B PT Adaro Indonesia dan IUP yang diberikan Bupati Balangan kepada PT Putera Bara Mitra.
Sedangkan nasib para pekerja lepas, diakui Priyo, pihaknya akan memberikan kesempatan kepada pekerja lepas untuk bekerja dengan status yang sama di kebun Tambarangan Kabupaten Tapin.
“Pekerja lepas kita berikan kesempatan untuk bekerja di sana, jadi tergantung yang bersangkutan mau atau tidaknya, yang jelas kita sudah memberikan solusi,” ujarnya yang mengatakan bahwa pihaknya juga akan memberikan pesangon kepada pekerja lepas, sesuai dengan masa kerjanya yang dihitung sejak dihentikannya aktivitas menyadap sampai akhir bulan Mei ini.
Dewan : Pemerintah Jangan Tutup
Pemindahan kepemilikan lahan (Take Over) Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Inti Rakyat Khusus (Pirsus) II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia per 22 Mei 2014 lalu, selain menimbulkan pertanyaan di masyarakat juga menjadi perhatian khusus Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Kabupaten Balangan.
Saat ditemui Ketua DPRD Balangan H Zainuddin yang didampingi wakil ketua DPRD H. M Yusuf A mengungkapkan, selain tidak adanya koordinasi dengan Dewan mengenai Take Over HGU Pirsus II Afdeling Paringin seluas 2071 hektare dari PT Perkebunan Negara (PTPN) Persero ke PT Adaro Indonesia juga dikwatirkan akan menimbulkan dampak sosial yang luas.
H. A Yusuf menambahkan, selama ini kalangan DPRD Kabupaten Balangan tidak pernah tahu maupun diberi tahu baik terkait akusisi lahan HGU seluas 2.071 hektare tersebut, baik dari pihak PTPN XIII sebagai pemegang izin sah maupun dari PT Adaro Indonesia sebagai pengelola lahan selanjutnya, bahkan dari Pemerintah kabupaten (Pemkab) Balangan sendiri selama ini, juga tidak ada sedikit pun pemberitahuan mengenai rencana ataupun pelaksanaan akusisi lahan HGU milik PTPN XIII tersebut.
“Kok tiba-tiba PTPN XII meng take over lahan HGU nya, lalu DPRD Balangan dianggap apa, pemerintah daerah juga harus segera bertindak secepat mungkin menyelesaiakn permasalahan ini, jangan sampai pemerintah tutup mata,” ujar politisi Golkar tersebut.
M Yusuf A mengakui, pihaknya akan membentuk tim untuk menyelesaikan permasalahan pengalihan lahan HGU seluas 2.071 hektare tersebut dari pihak PTPN XIII sebagai pemegang izin sah ke PT Adaro Indonesia.
“Permasalahan ini bisa kita limpahkan ke komisi II atau komisi lain yang terkait, dan tidak menutup kemungkinan kita akan bentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait permasalahan ini,” tegasnya.
Sedana dengan pernyataan itu, ketua komisi II Sumarso mengakui, pihaknya akan berkoordinasi dengan pihak terkait baik Pemkab Balangan maupun Dirjen kementerian terkait, guna penyelesaian permasalahan terkait tindakan PT Adaro Indonesia yang mengakuisisi secara resmi lahan HGU PTPN XIII (Persero) kebun Tambarangan Afdeling Paringin.
“Selain proses akusisi, kita juga akan pertanyakan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terkait kesepakatan take over tersebut,” tegas Sumarso.
Lebih jauh Sumarso mengatakan, pihaknya pasti akan melakukan tindakan lanjutan terkait permasalahan ini, namun waktunya belum kita tentukan, yang pasti secepatnya akan dilaksanakan.
Selain itu, Sumarso juga meminta semua pihak baik masyarakat, PTPN, dan PT Adaro untuk menahan diri, jangan ada saling provokasi. “Sebelum ada kejelasan mengenai masalah ini, kita ingin masyarakat tetap diperbolehkan bekerja di lahan HGU kebun Pirsus II Paringin tersebut,” pintanya.
Keluhan serupa juga ditunjukan Ketua LSM Hijau Rindang Lestari, H Hudari mengaku, bingung atas tindakan PTPN XIII sebagai BUMN melapas secara resmi lahan HGU nya kepada PT Adaro Indonesia.
“Izin HGU PTPN XIII merupakan izin perkebunan, yang seharusnya tidak boleh serta merta dialih fungsikan ke sektor pertambangan, harus ada kajian konfrehensif secara mendalam terkait alih fungsi tersebut baik secara lingkungan maupun sosial budaya disekitar lahan tersebut,” tegasnya.
Lebih jauh H Hudari membeberkan, seharusnya jika PT Adaro Indonesia akan menggunakan lahan HGU PTPN XIII tersebut maka harus ada kajian lingkungan terlebih dahulu yakni berupa, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dimana AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
“Sesuai izin AMDAL yang diberikan kepada PT Adaro Indonesia di Tahun 2012 lalu, terkait peningkatan produksi dari 45 juta ton/tahun menjadi 80 juta ton/tahun tidak ada perluasan lobang tambang yang ada hanya pendalam lobang tambang, artinya tindakan PT Adaro Indonesia yang mengakuisisi secara resmi lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII (Persero) bisa ditiadakan kerna tidak akan mengganggu jalannya peningkatan produksi yang dilakukan PT Adaro Indonesia,” bebernya.
Ditambahkan Hudari, seharusnya PTPN XIII (Persero) sebelum melepas lahan HGU nya harus menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan dengan masyarakat terkait status lahan mereka.
“Padahal sampai saat ini masih ada permasalahan lahan masyarakat dengan PTPN XIII, seharusnya PTPN menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada sebelum melakakukan take over ke PT Adaro Indonesia,” bebernya.
Dilain pihak, menurut Goverment and Media Relations (GMR) Departement Manager PT Adaro Indonesia, Hikmatul Amin saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, mengenai lahan PTPN Yang kini di ambil alih PT. Adaro Indonesia dengan lahan HGU seluas 2071 Hektar (Ha) bukan untuk di tambang, melainkan sebagai Areal pendukung pertambangan.
“Areal tersebut kita manfaatkan untuk areal pendukung seperti areal reklamasi atau penghijauan dan pengolahan limbah serta disposal (pembuangan tanah) dan lainnya, yang jelas bukan untuk ditambang.” katanya.
Diakuinya, untuk keterlibatan pemerintah daerah (Pemda) dalam proses take over dirinya kurang paham, tapi ditegaskannya, yang jelas PTPN PIRSUS II Paringin temasuk dalam BUMN dan kewenangan BUMN untuk melepas.
Amin menambahkan, kesepakatannya di Jakarta antara BUMN dan PT. Adaro Indonesia, melalui beberapa proses tahapan sesuai prosedur, karena perusahaan negara jadi di bawah BUMN.
“Sesuai dengan Peraturan pemerintah RI No 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Pasal 16 yang menyatakan, (1) HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain, (2) Peralihan HGU terjadi dengan cara : Jual beli, Tukar Menukar, Penyertaan Modal, Hibah dan Pewarisan,” bebernya.
Pengambilalihan HGU PTPN XIII Oleh Adaro; Potret Ekonomi Rente Pertambangan.
Thursday, 05 June 2014 17:52
Siaran pers JATAM, 5 Juni 2014
Peralihan Hak Guna Usaha Perkebunan Inti Rakyat Khusus (HGU Pirsus) II afdeling Paringin, Kabupaten Balangan Kalsel, dari PTPN XIII ke PT Adaro Indonesia pada 22 Mei 2014 lalu, adalah salah satu potret nyata bagaimana praktek ekonomi rente telah menjadi bagian dari industri pertambangan. Seperti halnya di wilayah lain, tumpang tindih lahan HGU maupun Konsesi Pertambangan menjadi pemicu para pengusaha maupun pemberi ijin untuk melanggengkan model pembangunan yang berbasis rente. Tanpa peduli kawasan tersebut telah dimiliki ataupun diperuntukkan untuk sektor lain, cara apapun dilakukan untuk mendapatkan izin.
Peralihan HGU Pirsus tersebut menjadi wilayah pertambangan tentu bukan tanpa masalah. Tidak hanya bentang alam saja yang akan dirombak, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan karet juga mengalami nasib yang tidak menentu. Tidak hanya 236 karyawan dari Pirsus PTPN XIII saja yang kehilangan mata pencahariannya, masyarakat sekitar yang bergantung pada keberlangsungan kegiatan perkebunan tersebut juga terancam. Ancaman konflik dan gejolak sosial di masyarakat semakin terbuka lebar.
Walaupun PT Adaro Indonesia mengklaim lahan yang diambil alih tersebut untuk reklamasi, pembuangan limbah dan bahan disposal, namun tetap saja kegiatan tersebut adalah satu kesatuan dalam industri pertambangan. Argumentasi peralihan HGU Perkebunan menjadi Areal Pendukung Pertambangan (APP) tentu saja tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Semestinya lahan HGU hanya diperuntukkan bagi kegiatan perkebunan, pertanian dan/atau peternakan, sesuai dengan PP 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal 16 tentang Peralihan HGU hanya sebatas mengatur mekanisme peralihan HGU tanpa mengubah peruntukan lahan tersebut. Artinya, peralihan HGU ke pihak lain tidak serta merta merubah peruntukan lahan HGU tersebut. Peruntukan lahan HGU yang dialihkan harus sesuai dengan perijinan awalnya.
Tumpang tindih lahan dan konsesi di berbagai wilayah yang selama ini “dipelihara dengan baik” oleh kepala daerah selaku pemberi ijin, membuka peluang besar terjadinya suap atau gratifikasi. Hingga saat ini pun masih belum jelas landasan hukum dan mekanisme perizinan apa yang digunakan PT Adaro Indonesia untuk mengambil alih dan merubah peruntukan HGU tersebut.
Perampasan ruang hidup masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kebun karet menjadi salah satu PR besar yang harus diselesaikan oleh Pemda. Pembiaran tumpang tindih yang berlarut-larut diindikasikan akan meningkatkan bargaining dari kepala daerah selaku pemberi ijin serta celah terjadinya suap dan gratifikasi.
Tidak seharusnya sektor pertambangan menjadi basis pembangunan ekonomi suatu daerah. Sektor pertambangan yang bersifat “Keruk Habis, Jual Cepat” berkontribusi besar pada semakin menurunnya kualitas hidup masyarakat di suatu daerah. Ditambah lagi dengan “ekonomi rente” yang melekat pada industri pertambangan, mengundang dan mempengaruhi kekuasaan untuk mengeruk keuntungan dengan sama sekali tidak berkontribusi pada peningkatan perekonomian dan kualitas hidup masyarakat.
Warga Mengadu Ke Dewan
Puluhan warga Desa Lamida Bawah Kecamatan Paringin mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Balangan untuk menemui wakil meraka, guna menyampaikan aspirasi terkait kejelasan nasib tanah milik mereka, pasca pengalihan pengusaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN XIII Avdeling Pirsus Paringin seluas 2071 Ha ke tangan PT. Adaro Indonesia.
Kedatangan masyarkat disambut dengan melaksanakan rapat dengar pendapat/hearing dialog dengan komisi II DPRD Kab. Balangan selain diterima ketua komisi II DPRD Kab. Balangan Sumarso beserta dua anggotannya rapat tersebut juga diikuti Akhmad Fauzi Asisten II Setda Kab. Balangan, Haryono Kepala dinas kehutanan dan perkebunan, dan Nugraha kepala BPN, beserta Mukhlis Ridhani Kasi SPP BPN dan Syamsurizal Staf BPN, rapat dilaksanakan di ruang rapat DPRD Kab. Balangan, Kamis (12/6/2014)
Perwakilan masyarakat H Jumhari mengatakan, meminta agar DPRD bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat guna mendapatkan haknya atas tanah yang dimiliki secara turun temurun, namun hingga kini tanah tersebut diklaim masuk dalam kawasan HGU PTPN XIII yakni Pirsus II Paringin.
“Apalagi setelah take over yang dilakukan PTPN ke PT Adaro permasalahan yang timbul semakin rumit, dimana tanah yang kami miliki sebagian sudah digarap oleh PT Adaro. Padahal tanah tersebut milik masyarakat kami bukan milik PTPN, untuk itu kami meminta penyelesaian permasalahan tersebut,” pintanya.
Menanggapi permasahan tersebut, Ketua Komisi II DPRD Balangan Sumarso mengatakan, Dewan akan mengkomodir keinginan masyarakat guna penyelesaian permasalahan tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pihaknya sebagia wakil rakyat berdasarkan peraturan yang berlaku.
“Kita secepatnya akan memanggil pihak PTPN XIII guna pempertemukan dengan masyarakat untuk penyelesaian permasalahan yang dialimi masyarakat tersebut,” tegasnya.
Masih menurut Sumarso, pihaknya selain memanggil pihak PTPN XIII juga berencana akan memanggil pihak lainnya yang terkait masalah ini.
Senada dengan Sumarso, anggota Komisi II yang hadir Nor Iswan mengatakan, menurut penilaian kami permasalahan yang ada terkonsentrasi menjadi dua yakni, permasalahan awal terbitnya izin HGU PTPN tahun 1986 dimana adanya hak masyarakat yang tidak dipenuhi dalam perjalanan penerbitan HGU tersebut, dan yang kedua adalah permasalah yang ditimbulkan kerna terjadinya Take Over lahan HGU menjadi kawasan pertambangan dimana selain proses take over sendiri secara dateil belum ada kejelasan yang diterima DPRD, permasalahan sosial akibat take over tersebutpun belum ada perencanaan penyelesaiannya.
“Kerna apabila lahan HGU tersebut berubah fungsi menjadi pertambangan, maka otomatis kehidupan sosial disekitar lahan HGU akan berubah, padahal disana ada mesjid, sekolah, dan sarana umum lainnya, permasalahan tersebut harus diselesaikan dulu sebelum adanya perubahan kawasan,” bebernya.
Untuk itu, diakui Nor Iswan pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemkab Balangan guna pembahasan permasalahan terkait take over PTPN ke PT Adaro Indonesia tersebut, salah satunya dengan cara meminta klarifikasi baik kepada PTPN maupun ke PT Adaro Indonesia.
No comments:
Post a Comment